Kecewa berat, sih. Tapi mana tega Ata mematahkan antusias perempuan yang hampir tidak putus mengamati wajahnya penuh minat ini?
"Stop ngelihatin gue." Ata mengulurkan tangan, menggerakkan pelan kepala Birru agar menunduk. "Buku menunya ada di bawah."
Birru berdecak. Detik berikutnya mengangkat pandangan lagi. Tersenyum lagi sambil menatap Ata lekat-lekat. "Dosa besar nggak, sih? Bisa-bisanya aku lupa sama muka secakep ini."
"Memang." Dari luar terlihat santai. Aslinya Ata mulai ketar-ketir. Dia sudah mulai terbiasa dengan Birru yang sering kali asal bunyi, ceplas-ceplos, hanya demi mengeluarkan isi kepalanya yang aneh-aneh itu. Namun, ia tidak menyangka jika tingkatnya sudah seberbahaya ini. Ntah bercanda, atau terlampau jujur. Ata mulai kewalahan untuk menanggapi.
"Maaf, ya, Kakak." Akhirnya perempuan itu mengalihkan pandangan. Wajahnya yang senantiasa ekspresif, sudah berubah cemberut. "Ini TMI banget, sih. Tapi aku memang agak ... eum, kata Teteh, sih, bodoh. IQ-ku hampir di bawah rata-rata waktu terakhir test. Paling kacau di bagian spasial sama visual. Jadi, selain gampang nyasar, aku memang agak susah inget muka orang. Apalagi waktu itu aku cuma sempet liat sekilas karena Kak Ata buru-buru pulang."
Tuh, kan. Ata bingung lagi memikirkan respons yang tepat. "Bukan bodoh. Cuma beda tipe kecerdasan aja—"
"Is, nggak papa tau. Santai aja. Makasih, loh, udah berusaha ngasih validasi." Birru sudah memamerkan senyumnya. "Tapi, ya! Aku inget banget sama gaya bicaranya. Makanya sampai kemaren, tuh, aku selalu balik lagi ke café. Aku yakin banget bisa langsung kenal kalau udah denger dia ngomong. Tapi ternyata shift Kak Ata malah beda banget sama jam-jam aku biasa datang. Pantesan nggak pernah ketemu!"
"Terus, yang di MRT?"
"Nah! Itu!" Birru menggebrak meja, pelan, tapi cukup membuat sang pelayan yang masih berdiri di samping mereka sedikit terlonjak dari posisinya. "Kak Ata mode korporat sama barista, tuh, beda banget! Yang aku inget gaya bicaranya beda: ramah, lembut, mudah senyum. Tapi yang ini kenapa galak???" Tunjuknya tepat ke wajah Ata. "Dasar pemarah."
Ata menangkap jari itu. Dengan wajah datar, berusaha menurunkannya perlahan. "Lanjut nanti lagi ngobrolnya. Selesaiin pesen makan dulu. Kasihan mbaknya udah nungguin." Dia berdeham, melepaskan jari Birru untuk kembali memberikan atensi ke buku menu. "Masih ada tambahan, nggak?"
"Aku mau tambah strawberry shortcake, dong. Terus minumnya ...."
"Air mineralnya dua, ya, Mbak."
"Aku enggak—"
"Udah. Itu aja."
Sampai sang pelayan menyebut ulang orderan, mengambil alih buku menu, lalu meninggalkan meja mereka, Birru masih belum diberi kesempatan juga untuk menyuarakan protes.
"Aku mau pesen milkshake."
"Lu selalu pesen itu tiap mampir ke kafe. Diabetes."
"Arrggh." Birru menjatuhkan kepalanya ke meja. Gerakan tiba-tibanya itu hampir saja membuat Ata bergerak menjulurkan tangan agar benturannya tidak terlalu berdampak. Beruntung, refleksnya masih bisa ia tahan. "Kak Ata bener-bener mirip Lili. Nyebelin. Suka larang-larang."
"As she should. Orang yang baru dilepas tinggal sendiri kayak elu, harus diawasin biar nggak aneh-aneh."
Seperti biasa, kalimat bernada nasihat barusan selalu terdengar bagaikan kumur-kumur di telinga Birru. Dia tidak mau repot-repot mencernanya.
"Eh. Tapi Kakak penasaran nggak, sih, kenapa aku rela bolak-balik ke kafe itu?" Birru mengangkat kepalanya lagi. Nada bicaranya sudah kembali ceria seolah-olah perselisihan kecil tadi tidak pernah ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...