CW // harsh word
***
Permintaan dari Papa, masih bisa Ata pikirkan ulang. Niat untuk negosiasi masih sering terbesit. Meski ujung-ujungnya, dia tetap akan melaksanakan dengan alternatif lain yang telah mereka sepakati.
Sudah terbiasa. Ata mulai ahli membaca celah.
Masalahnya, yang satu ini, langsung berasal dari pimpinan teratas keluarga besar Cakrawala. Tonggak pertama kejayaan keluarga. Yang diper-Tuan-Agung-kan. Kean bahkan sampai memanggilnya EYang Mulia saking hampir mendekati mutlak—jangan berani dibantah—tiap pintanya.
Kacau. Mana berani Ata mengajukan banding?
Tepat setelah namanya di-mention oleh beliau di group chat keluarga besar, Ata langsung tantrum di grup yang satunya. Room chat khusus yang Kean buat agar mereka bertiga—ditambah Mas Abi—bebas berekspresi. Sesuai namanya "Cursing is allowed", jancooook adalah kata pertama yang Ata kirim. Tentu saja, Kean akan muncul untuk ikut mengolok-olok—mengirimkan WKKKWKWKWKKW yang semuanya huruf kapital. Wajah menyebalkan Kean langsung terbayang, membuat Ata mengirim satu lagi kata umpatan. Detik-detik berikutnya, ketika Mas Abi muncul di jam kerja yang sibuk ini, Ata akhirnya sadar, situasinya sudah berada di skala gawat-darurat.
"Anying."
"Kenape lagi?"
Raka yang kebetulan sedang duduk di hadapannya, cuma bisa menggelengkan kepala. Pertanyaan barusan malah direspons dengan Ata yang menggelempar di kursinya sendiri. Bagaikan ikan yang diangkat paksa ke daratan. Sesak ... tidak bisa bernapas. Meski belum mengerti konteks, dalam sekali lihat saja, Raka sudah bisa paham: kondisi temannya itu cukup memprihatinkan.
"Anjeeeeng!"
Tidak kaget, Raka meraih gelas, menyeruput Americano yang mencair es batunya. Mereka sudah cukup lama berdiam di sini. Jam makan siang bahkan sudah lewat setengah jam yang lalu. Alih-alih kembali ke meja kerja, kedua orang ini malah memutuskan untuk bolos. Diomeli atasan karena terlambat, terdengar jauh lebih baik daripada membiarkan mata kembali menatap layar laptop dengan kepala yang berasap.
Mereka butuh jeda. Dan Ata malah tertimpa kesialan lain di antara detik-detiknya.
"Apa??? Kenapa??" Raka mulai kesal setelah tatapan penuh penderitaan itu tertuju ke arahnya cukup lama.
Ata terlihat membuka mulut, menutupnya lagi karena bingung bagaimana cara menjabarkan. Ia mengacak rambut. Wajah kusutnya menghadap ponsel dan Raka bolak-balik. Helaan napas yang entah ke-berapa kalinya itu, mungkin sudah sampai mengganggu telinga penghuni meja sebelah.
"Anjing."
Dia mengumpat sekali lagi, sementara Raka malah terkekeh. Besar keinginan untuk merekam penampakan Ata saat ini, lalu mengirimkan ke group chat mereka. Bawa gosip ini ke persekutuan, kalau kata Javi dan Kean. Namun, dia bukanlah tipe yang senang mencari kawan untuk menertawakan kesulitan seseorang.
"Gua baru inget, babi. Dua minggu lagi Eyang ulang tahun."
Kedua alis Raka menyatu, ia berusaha mencerna. Detik berikutnya mengangguk. "Terus?"
"Gua disuruh bawa calon –anjing!" Kalimat itu belum selesai, tetapi Ata sudah meraup mukanya lagi. Umpatan seperti imbuhan wajib yang harus keluar tiap kali ia membuka mulut. "Nama gue langsung di-tag, anying." Dia mengangkat ponsel, membaca ulang pesan yang dikirim Eyang. "Mas Ata, jangan lupa janji kamu, bawa calon ke ulang tahun Eyang nanti. Eyang juga mau kenalan—" Ata tidak sanggup melanjutkan, sedang Raka sudah meloloskan tawanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...