Disclaimer:
- Ini chapter yang bisa di-skip, tapi timeline-nya ada di sekitar Birru ngilang, terus Mami milih stay di apartemen nungguin sama anaknya balik.
- Tidak melalui proses revisi yang teliti, maaf kalau ada typo atau kalimat yang aneh.
- Tidak seru, ditulis cuma karena kangen ibuku :D
- Enjoy!***
Birru sudah terlampau sering mendengar nasihat, "Kamu itu bukan pusat dunia. Jangan pernah ngerasa spesial."
Pesan baiknya menjadi hilang hingga terkesan menyebalkan karena kalimat itu keluar dari bibir Teteh. Semakin bertambah umur, Birru justru merasa jengkel. Sadar atau tidak, ia malah melakukan kontradiksinya. Birru akan terus merasa spesial, pusat dunia ada pada dirinya, lalu lupa, banyak sekali manusia yang harus ia perhitungkan eksistensinya.
Hidup ini saling bersinggungan. Berasiran. Sesuatu yang kita punya, bisa juga, di saat yang bersamaan, menjadi kepunyaan orang lain.
Dulu, Birru tidak pernah mau ambil pusing. Toh, hidupnya sudah terlanjur dibuat nyaman dengan Papi yang selalu mengusahakan banyak hal. Birru gampang sekali memberi klaim hal-hal tertentu merupakan miliknya; seutuhnya. Egois. Hingga kemudian, kepergian Papi berhasil menyadarkan.
Atas peristiwa yang membuat dunianya runtuh, Birru baru saja memahami. Duka ini bukan hanya miliknya. Ada jiwa-jiwa lain yang turut merasakan. Sama besarnya dengan luka yang ia punya, atau mungkin, lebih. Tangisan Mami di atas kuburan Papi yang basah adalah bukti konkret yang berhasil membuka mata perempuan itu. Dia bukanlah pusat dunia. Orang lain juga pemeran utama dari hidup mereka, yang kemudian, bersinggungan dengan miliknya karena ada di satu timeline yang sama.
Kalau dia saja bisa merasa seterpukul ini, bagaimana dengan Mami?
"Maafin Mami ya, Dede?"
Hati Birru sakit setelah mendengar langsung ucapan itu. Kenapa harus perempuan penuh luka ini yang menyampaikan maaf? Memang apa salahnya? Menjadi seseorang yang dikhianati tidak serta-merta membuktikan bahwa dirinya kurang dan harus berucap maaf. Mami tidak salah—Papi, lah yang harus menanggung dosa. Dan Birru akan selalu mempercayai itu, meski dari hati terdalam, ia tidak pernah bisa membenci Papi.
Ada kecanggungan yang melingkupi mereka selagi Mami menginap di apartemen. Yang membuat Birru merasa harus menahan bagian lain dirinya. Takut bertingkah. Takut membuat Mami tidak nyaman.
Tapi, kalau boleh jujur, Birru cukup terharu mendapati Mami tidak ikut pulang bersama Abang dan Teteh. Perempuan yang dulu selalu sibuk hingga jarang terdeteksi keberadaannya di rumah itu, bahkan sampai menemaninya makan malam. Memilihkan menu kesukaan Birru dengan tepat tanpa bertanya. Mengikuti pace makan Birru yang lambat. Kemudian, menawarkan diri untuk beres-beres meski aslinya hampir tidak pernah menyentuh piring kotor.
"Aku udah lama nggak rapiin kamar tamu. Biasanya Lili, sih. Tapi dia lagi jarang ke sini. Terus—"
"Mami tidur bareng Dede aja."
Birru kebingungan setengah mati. Perubahan besar ini tidak bisa sekaligus ia tampung dalam waktu yang bersamaan. Terlalu penuh. Terlalu tumpah-ruah. Apa kabar dengan pelan-pelan dulu? Seolah-seolah setiap detiknya begiru haram untuk terlewati dengan percuma.
"Kenapa? Nggak nyaman, ya?"
"Bukan gitu, Mami...." Birru meringis. Kejujurannya mungkin akan melukai usaha Mami. Tapi, kalau dibiarkan begini terus, keduanya malah meledak di ujung. "Aku cuma ngerasa aneh, dikit. Nggak biasa soalnya."
Perempuan itu tersenyum maklum. Ia menawarkan untuk bersih-bersih dulu. Berganti baju, membalurkan skincare, kemudian mengatur susunan kasur agar nyaman ditempati.
"Padahal, kalau lewat chat, kita ini kayak Mami dan anak goals, loh. Teteh aja sering iri ngeliat gimana santainya kamu bales chat Mami."
Tunggu dulu. Apa santai itu berarti tidak sopan? Birru malah overthinking. Ekor matanya bergerak awas, mengikuti Mami yang sudah naik lebih dulu ke atas ranjang.
"Mami." Birru memutar kursi. Ada banyak asumsi yang berlalu-lalang di kepala. Bagaikan jalan tol gratis yang mewadahi mobil-mobil berkecapatan tinggi. Membuatnya berakhir pening. Takut-takut, semua mobil itu malah akan berakhir tragedi. "Aku sering nggak sopan, ya?"
"Loh? Enggak. Mami nggak ngerasa gitu." Senyum cantiknya menenangkan Birru. "Mami suka sama stiker lucu yang kamu kirim. Sama, itu tuh, kalau kata Abang, meme; lucu juga walaupun aneh-aneh. Tapi kalau boleh saran, hurufnya jangan kecil besar tiba-tiba gitu, loh, Dede. Pusing bacanya."
Mudah, kan? Birru tidak perlu diomeli. Dia bisa diberitahu dengan lembut tanpa harus membuat hati kecilnya tersinggung. Hanya saja, saking jarangnya mengobrol dengan Mami, dia sampai tidak tau kalau mendengar nasihatnya justru akan menenangkan hati.
Karena itu, Birru akhirnya bergerak. Menaiki sisi ranjang yang kosong agar bisa bersebelahan dengan Mami.
Dalam hening, manik mata mereka saling memindai. Belum pernah sedekat ini—setidaknya dalam ingatan Birru. Ternyata, sudah banyak kerutan halus di wajah perempuan itu. Meski tetap terlihat cantik. Memancarkan hasil dari perawatan mahal yang membuatnya sekian tahun lebih muda dibanding yang seumuran. Birru tersenyum. Baru menyadari, iris cokelat terang ini berasal dari Mami. Diturunkan dengan sempurna, sama cantiknya. Mami sangat mempesona.
"Tidur sekarang?"
Birru mengangguk. Menjatuhkan kepala ke bantal, lalu menarik selimut hingga ke hidung. Detik itu ia baru menyadari, lagi, suhu kamar sudah diatur sesuai dengan yang dia mau. Suhu yang cukup rendah untuk kebanyakan orang.
"Mami nggak kedinginan?"
"Mami okay," jawabnya dengan suara lembut. "Lampu tidur aja udah cukup, kan?"
Dengan canggung, Birru mengangguk lagi. Dia memang tidak bisa jika ruangan ini dibiarkan gelap seutuhnya. Setidaknya harus ada satu lampu yang menyala remang. Agar, kalau—amit-amit—dia mengalami mimpi buruk, ada satu titik cahaya yang menyadarkan Birru. Masih ada cahaya. Masih ada harapan tiap kali terbangun.
Tapi, kok ... Mami tau dari mana?
Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu. Sudah cukup interaksi untuk hari ini. Energi kehidupan Birru sudah habis. Waktunya memejamkan mata.
Sekian detik sebelum kesadarannya benar-benar direnggut kantuk, Birru bisa merasakan, jari-jari lembut itu tengah mengusap dahinya. Spesifik di antara kedua alisnya. Konstan. Begitu halus. Diiringi doa-doa, semoga besok, harinya jauh lebih baik.
Dalam mimpinya, Birru kembali bertemu dengan sang Ibu Peri. Yang kerap datang tiap sakit melemahkan fisik dan mentalnya. Ibu Peri cantik yang berusaha tetap tenang meski kepanikan sudah menguasai semua anggota geraknya.
Ia meraih kepalan tangan Birru yang mendingin. Diusap-usap. Jari per jari. Agar tetap hangat. Agar cepat sembuh.
Belakangan, Birru akhirnya sadar juga. Ibu Peri itu bukan sekadar bunga tidur.
Dia adalah Mami.
Yang selalu bermalam di kamarnya hingga pagi, sampai tepat sebelum Birru terbangun karena sinar mentari. Ia akan menatap dengan khawatir setiap detik. Berharap tangan yang sedingin es itu, menghangat mengikuti suhu tubuhnya. Sambil berdoa dengan sejuta afeksi, Jangan sakit lagi anakku, Sayang.
.
.
.
.Birru, agar nantinya tidak menyesal, mulai dari sini, ciptakan lebih banyak momen lagi bersama Mami.
Mohon.
***
Kira-kira nanti setelah tamat, ada dua chapter lagi yang kayak gini. Sebenarnya bisa dimasukin ke plot utama, tapi takut overwhelmed :') akhirnya dipisah aja. Semoga suka yaaa.
See you di chapter final!
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...