Titah Untuk Cakrawala

514 59 4
                                    

Apa itu hidup bebas?

Sejak lahir, arah hidup Ata sudah ditentukan. Begitu detil; sangat. Mulai dari hal-hal kecil hingga yang besar. Dari yang paling sepele hingga penting. Hari-hari berikutnya, ketika Ata mulai mengerti apa itu pilihan—dan hak atas diri sendiri—yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk, tetap mematuhi semua titah dari Papa.

"Jangan makan itu, kalorinya banyak. Nanti kamu gemuk."

"Jajanan itu nggak bersih, Mas Ata. Nanti kamu sakit perut."

"Kamu nonton yang ini aja, lebih mengedukasi. Nyalain english subtitle-nya, biar bisa sekalian belajar."

"Belajar golf dan tenis itu penting, Mas Ata. Kalau udah besar, dan mulai ikut ngurusin kantor, kamu bakalan butuh untuk menjaga relasi. Kurangi main futsalnya, mulai minggu depan kamu ikut Mas Abi belajar golf."

"Mas Ata nggak papa, ya, ikut Kumon juga kayak Mas Abi? Les musiknya boleh tetep jalan, tapi matematikanya juga harus jago, dong."

Patuh, ya? Kenapa?

Padahal, kalau Ata tidak menutup mata, banyak sekali celah untuk kabur. Dia bisa saja menempuh jalan seperti Kean, kabur-kaburan dari keluarga besar, kemudian berhasil melewati hari-hari sesuai dengan keinginan.

Tidak ada alasan kuat. Ata hanya ingin bersyukur.

Banyak sekali anak tang terlahir tidak seberuntung dirinya. Jangankan mendapatkan pendidikan dan rumah yang layak, Besok makan apa, ya, biar uangnya cukup untuk sekeluarga? Masih harus menjadi kecemasan mereka setiap hari.

Jadi, ya sudahlah. Toh, Papa dan Mama tidak sampai sekeras orang tua teman-temannya yang lain. Keinginan Ata masih bisa terwujud, meski banyak sekali syarat dan ketentuan yang berlaku. Keluarganya masih terbilang harmonis, meski lebih sering berpencar. Ata masih bisa merasakan hangatnya mengobrol dengan Papa-Mama tiap ada kesempatan untuk berkumpul. Nggak masalah.

Lagi pula, Ata sadar. Ada satu orang yang sangat menginginkan posisinya saat ini. Anak sulung yang sudah belajar mati-matian demi pengakuan Papa. Namun, harus menyerah sejak menginjak garis start hanya karena statusnya sebagai anak perempuan.

"Perempuan jangan jadi pemimpin dulu selama masih ada laki-laki, ya, Mbak Mala, ya? Jabatannya nggak usah tinggi-tinggi kalau memang masih kekeh bantuin Papa di kantor." Sayap impian Mbak Mala sudah lama dipatahkan Papa, sedang rasa bersalah mulai mendarah daging di diri Ata.

Jangan ngeluh, Ata. Banyak yang pengen ngerasain gimana rasanya jadi elo. Jangan ngeluh. Bersyukur.

Entah sejak kapan tepatnya, Ata mulai berhenti mempertanyakan bebas.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[END] Awan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang