Cw // kissing
Tw // mental illness (bukan untuk diromantisasi, mohon bantu koreksi kalau ada yang salah)***
Birru selalu merasa dirinya tidak akan pernah siap untuk hubungan jangka panjang. Sampai kapan pun. Bahkan, di saat psikiater yang rutin ia sambangi itu menyatakan, Bisa walau harus dengan kontribusi luar biasa dari pasangan. Dalam bahasa sederhana, memang sulit; butuh pengorbanan yang akan membuat lelah batin. Bukannya merasa tenang, Birru justru semakin takut.
Mungkin, karena orang yang akan menanggung beban batin itu adalah Ata. Rasa sayangnya yang besar, tak jarang berubah wujud menjadi ketakutan luar biasa. Yang menghantui. Yang membuat cemas setiap bangun pagi. Meski sebagian besar dari dirinya berani bersumpah, Ata tidak akan mengkhianati.
Birru tidak ingin membenci Ata. Pun, sebaliknya. Lebih baik menghilang saja dari bumi jika di ujung cerita, Ata malah menjadi sosok yang lelah menghadapinya. Beratus tingkat levelnya di atas benci. Hingga muak bahkan dalam sekadar menyadari eksistensi Birru.
Tapi masalahnya, hanya Ata yang bisa mengerti. Setidaknya sejauh ini. Sisi diri Birru yang lain justru akan meraung. Meminta laki-laki itu untuk hadir. Menemani hingga ia yakin semuanya akan baik-baik saja.
Semua memang tidak pernah mudah. Saling berkontradiksi. Bukan hanya bagi Birru. Begitu juga bagi Ata.
"Kakak." Birru sedang menahan kumpulan air mata itu agar tidak jatuh. Pandangannya berlarian, menengadah ke atas. Ke arah mana saja asal tidak bertabrakan dengan sorot mata Ata. "Nggak usah dilanjut aja, ya?"
Lagi. Kalimat yang sama. Pertanyaan yang sama. Ata sudah berhenti menghitung sejak minggu lalu. Yang jelas, sudah lebih dari tiga dalam sebulan terakhir. Ini adalah yang terparah sepanjang usahanya dalam menyakinkan Birru bahwa mereka akan berhasil. Dengan atau tanpa kondisi mental Birru yang memang tidak stabil.
"Nggak usah dilanjut." Ata ikut mengalihkan tatap. Melihat sekilas saja, mata merah Birru sudah membuat hatinya nyeri. Akan semakin terasa sakit jika dia biarkan dirinya tenggelam; menyelami hingga ke hati. "Aku nggak bisa percaya sama apa pun yang kamu bilang tiap lagi mental breakdown gini. Besok lagi aja ngobrolnya."
"Kakak ...." Birru sudah terisak bersamaan dengan Ata yang berjalan ke luar kamar. Gelembung ketakutannya membesar. Sebentar lagi bisa meledak. Membuat dadanya sesak karena kesulitan mencuri udara. "Please?" serunya tercekat.
Terlambat. Ata sudah menutup pintu.
Mereka memang sedang sama-sama letih. Bukan hanya mental, fisik pun ikut terkuras. Persiapan pernikahan yang seharusnya terasa menyenangkan, justru menjadi ujian terbesar bagi keduanya. Semakin banyak cekcok. Semakin banyak sabar yang hilang. Ditambah dengan kerentanan Birru yang tampaknya akan menetap permanen.
Mas Napnap kalau capek pergi aja.
Harusnya dari dulu kita nggak perlu maksain buat sama-sama.
Sampai tertidur, dengan matanya yang bengkak luar biasa, suara-suara di kepala terus merapalkan kalimat-kalimat yang sama. Birru benci dirinya yang tidak pernah bisa mengontrol. Yang selalu hilang kendali. Bahkan sampai berlanjut ke mimpi buruk. Wajah lelah dengan sorot mata kecewa itu, jauh lebih menakutkan dibanding hantu terseram yang pernah ia lihat di film horor.
Menghantui. Gentayangan.
***
"Hai."
Selalu seperti ini. Sayangnya, memang selalu seperti ini.
Mau seberantakan apa pun badai yang menerjang mereka kemarin, Ata tetap saja kembali. Tepatnya, memang tidak pernah pergi. Bersama dengan matahari yang bergulir lagi, memamerkan silaunya lagi, bergelayutan di tengah-tengah langit biru, dia akan menyapa bangunnya Birru. Seolah-olah tidak pernah merasa sakit semalaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...