"Binatang buas gitu masih bisa dibilang lucu?"
Birru mendelik. Dari dulu, Mas Napnap yang ia kenal, memang sering kali berusaha menariknya agar sadar akan realitas. Tidak ada hewan yang lucu, apalagi menggemaskan. Karnivora bertaring itu adalah makhluk buas yang aslinya bisa saja menjadi musuh eksistensi manusia. Namun, Birru tidak pernah peduli.
Yang terpenting adalah, boneka beruang seukuran manusia—yang dibelikan Papi minggu lalu—memiliki bulu lembut yang enak dipeluk. Ratusan video tentang hewan dari seluruh dunia yang sering diputarkan Bi Dewi tiap Birru harus makan sendirian, terlihat ramah karena saling mengasihi antar sesame. Mereka bersama, saling melindungi dalam kelompok yang tidak ingin terpisahkan. Serangga dan ulat warna-warni itu selalu berhasil menarik perhatiannya yang gampang terdistraksi. Meriah sekali; seperti melihat pasar malam yang bahkan tidak pernah ia datangi. Kucing anggora pemalas berbulu lebat milik tetangga sebelah, terlihat menggemaskan meski Teteh sering kali melarangnya untuk menyentuh. Persetan dengan Birru yang selalu melihat dari jauh tanpa pernah terlibat interaksi nyata. Dia akan menggunakan imajinasinya sendiri.
Setidaknya, sang induk—yang mukanya menyeramkan itu, bertaring, berkuku panjang, berukuran lebih besar dari kulkas di rumah—tidak akan membiarkan bayi-bayinya menangis sendirian di dunia yang super-liar.
"Lucu bangeeet Mas Napnap!" Alih-alih mengamini fakta yang sudah diproses otak, Birru malah kembali menyuarakan hal berlawanan. Ia menepuk-nepuk lengan Ata agar ikut melihat ke arah yang sama. "Anaknya digendong, ihhh! Lucu bangeet kok bisa beda banget gitu ya ukurannya? Keciiilll. Terus mamanya gede bangeet. Sebesar mobil!" Dengan mata yang berbinar, ia memindahkan pandangan dari kawanan hewan yang melintas ke Ata.
Laki-laki itu tersenyum. Birru akan selalu memiliki sudut pandangnya sendiri. Beda dan unik.
Mudah merasa senang. Mudah juga merasa sedih.
Hal kecil yang bisa membuat rasa bahagia sebesar itu, sudah jelas adalah hasil dari trauma berkepanjangan. Begitu juga sebaliknya.
Birru yang menghilang, belum sampai sehari, yang seharusnya bisa dihadapi dengan tenang sambil terus memantau kabar terbaru, sudah berhasil membuat mental Ata luluh lantak.
Dia pernah mengalami kejadian serupa. Beberapa tahun lalu. Ketika seragam sekolah internasional itu baru menginap setahun lebih sedikit di lemarinya.
Setelah melampiaskan emosi kepada orang-orang yang ia anggap bertanggung jawab atas hilangnya Birru, Ata sempat mendapatkan banyak sekali kalimat penenang dari Kean. Siatuasi ini memang cukup mengkhawatirkan. Tapi, berusaha tetap tenang adalah satu-satunya sikap yang harus Ata pegang.
"Pulang dulu aja, Mas. MRT udah nggak beroperasi lagi ini. Lanjut besok."
Kalimat itu justru membuat Ata semakin bertambah kalut. Tidak pernah ada hari esok.
Sebelum benar-benar berpisah, Kean mengulang lagi kalimat yang mungkin tidak pernah berhasil diserap otak Ata. "Birru bakalan baik-baik aja. Kejadiannya nggak bakalan sama dengan Mbak Mala dulu, Mas. Mereka itu dua orang yang berbeda."
Apanya yang beda?
Bahkan gua tetap aja gagal walaupun dikasih kasus yang sama persis.
Memang gua aja yang nggak becus.
Kean menepuk-nepuk bahu Ata—seolah-olah bisa mendengar isi pikiran. "Don't blame yourself, again. Please." Sangat berharap sepupunya itu masih bisa bertingkah waras meski aslinya sudah gila.
"Thanks, Yan."
Sepanjang jalan, otak sialan itu malah memaksa Ata memutar ulang memori kelam hingga tentang hilangnya Mala hingga rasa bersalahnya nyaris memegang kendali.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...