"Ternyata ini asli." Birru mengangkat pandangannya sekilas, menunduk lagi pada jam tangan merk Rolex yang sangat familiar itu. "Bukan KW," gumamnya.
Ata mengangkat alis karena dua hal. Pertama, itu adalah pernyataan terkonyol yang pernah dia dengar dalam minggu ini. Kedua, perempuan kalem yang makan dengan sangat rapi itu, ke mana perginya? Apa cuma cosplay demi mendapat kesan baik di mata Jaiz?
"Tapi sumpah, tiap ketemu di MRT, Kak Ata udah kayak anak korporat stres yang punya banyak cicilan—" Birru mengatupkan bibir ketika sorot tajam itu ditujukan ke arahnya. Seolah-olah akan ada leser yang keluar, membelah tubuhnya hanya dengan bertemu tatap. "Sorry."
Birru pikir, laki-laki yang tengah mengemudi dengan raut super serius ini, tidak akan tertarik mengobrol dengannya. Sama seperti sebelum-sebelumnya, ketika ia berusaha menyapa saat mereka tidak sengaja bertemu di MRT. Respons yang dikeluarkan selalu tidak ramah. Bintang satu. Seolah-olah, Birru adalah kuman yang harus dijauhi. Dibasmi dengan sorot mata berleser itu—mirip seperti tatapan sinis milik Teh Pipi.
Tapi kemudian, ia menemukan titik balik yang membuatnya sedikit memiliki keyakin; sabar, jangan ciut dulu.
"Lu inget gue apa nggak, sih?" Celetukan itu harusnya tidak bersuara—Ata berniat untuk bermonolog dalam hati saja. Sepersekian detik, ia malah dibuat kaget dengan sahutan dari kursi sebelah.
"Inget!"
Kobaran semangat itu begitu kentara, terlihat bangga. Sangat berbanding terbalik dengan Ata yang masih—berusaha—menatap datar.
"Kita sering ketemu di MRT, kan, Kak Ata? Sama-sama sering turun di Blok M juga!"
Ata menghela napas, memutar kemudi dengan satu tangan. Sekarang, sudah bisa dikonfirmasi: Birru tidak mengingat seperti dia mengingat bocah cilik yang ompong gigi depannya itu. Kekesalannya sontak meningkat. Tanpa sempat dicegah, ia kembali melontarkan kalimat tidak bersahabat lainnya. "Sok akrab amat dah, Kak Ata Kak Ata. Gue bukan kakak lu."
Perempuan itu mengerucutkan bibir. Wajar, kan, jika akhirnya ia sakit hati juga? Sikap kemusuhan Ata begitu terus terang. Membuatnya kembali mempertimbangkan untuk menyerah dan melupakan misi penting dari Lili. Kenalan, mah, gampang. Tapi, kalau sampai harus saling bertukar kontak hingga akhirnya berteman bukanlah hal yang bisa Birru perjuangkan. Dia dan kemampuan sosialisasinya yang jelek. Sekarang saja Birru sudah kesulitan untuk membangun obrolan lagi. Ata sudah mematahkannya sejak perjuangan itu bahkan belum dimulai.
Helaan napas yang disengaja dari Birru, cukup untuk membuat Ata meliriknya. Tidak lama, hanya sepintas. Ya, baguslah. Birru ingin sekali laki-laki itu merasa bersalah karena telah memperlakukannya dengan tidak baik.
"Turunin di stasiun MRT terdekat aja –um, Kak."
Ata mengernyit, menyempatkan diri untuk membaca jam yang terpampang di layar ponsel. Ya, memang masih belum jam sepuluh, sih. Tapi.... Apa dia bisa setega itu?
"Gue anterin sampai apart aja." Ia berdeham. "Setiabudi deket ini—"
Birru menggeleng, membuat Ata kembali menelan kalimatnya.
"Kata Papi, nggak boleh kasih tau alamat ke orang asing." Ia kemudian menunjuk paper bag dengan tulisan nama restoran milik Jaiz yang diletakkan di antara mereka. "Ini pasta, kan? Kalau nggak cepet-cepet dimakan, nanti nggak enak."
Ata bukan orang yang tega—ia manusia normal yang masih bisa merasa bersalah. Kayaknya gua udah kelewatan. Tapi tentu saja, dia juga tidak akan memaksa. Keputusan untuk tidak terlibat lebih jauh dari ini, masih ingin ia pegang dengan teguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomanceBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...