Birru pernah dianggap hilang hanya karena nekat nonton sendirian di bioskop dengan kondisi ponsel yang mati total setelah kehabisan baterai. Kenangan zaman sekolah ini masih terlalu membekas, bahkan raut wajah Papi masih tergambar jelas dalam memori visualnya yang buruk. Sampai-sampai, dirinya terdiam lama di satu halaman naskah mentah dari penulis yang baru-baru ini terikat kontrak dengan penerbit tempatnya bekerja.
Terlalu mirip.
Manik mata Birru bergerak lagi ke kalimat pertama. Membaca ulang kata demi kata hingga satu adegan itu berakhir di halaman ke sekian. Dahinya mengernyit.
"Kenapa sampai harus nelpon bokap gue, sih?"
"Gue udah bilang, kan? Gue bakalan tetep nonton walaupun kalian semua pada ngaret. Tiketnya udah gue beli. Dan gue sepengen itu nonton film ini, hari ini juga, sebelum spoiler di internet bikin gue jadi nggak antusias lagi. Terus, kalian malah nyalahin gue karena nggak denger announcement yang udah diulang tiga kali di meja informasi? Mikir! Mana kedengeran suaranya sampai ke studio bioskop!"
"Kalian, tuh, yang nggak pernah nyimak omongan gue. Sekarang mau nyalahin apa lagi? Soal gue yang selalu bawa-bawa hape yang belum sempet dicas keluar rumah?"
Rentetan kalimat itu berlanjut dengan adegan di mana tokoh gue akhirnya bertemu dengan bokapnya. Yang diikuti oleh dua orang anggota kepolisian dan satu kepala security mall. Dua jam setengah yang ia habiskan dengan duduk diam sambil mengunyah popcorn karamel di bioskop, telah mengubah tempat itu menjadi set untuk shooting film bergenre mistery-action hanya karena laporan dari teman-temannya perihal si gue yang tidak bisa dihubungi. Kehebohan total yang sangat dibenci tokoh gue—begitu juga dengan Birru.
"Lo kalau nggak nyusahin orang lain sehari aja bakalan gatel-gatel, kah?"
Kan. Kalimat itu akhirnya ditangkap juga oleh netranya.
Birru menutup laptop. Tidak tahan untuk melanjutkan. Dengan tangan bergetar, ia meraih ponsel, mencari kontak atasannya hanya demi mendengar jawaban yang membuat Birru semakin bertambah kalut.
"Penulisnya pakai nama pena. Nggak boleh dibocorin identitas aslinya."
"Walaupun aku yang jadi editornya?"
"Iya. Syaratnya gitu." Helaan napas itu tidak bisa Birru cegah, terlanjur keluar. Dia yakin sekali, sosok yang ia panggil dengan Mbak Anggi itu bisa mendengar dengan jelas. Karena itu, Anggi melanjutkan. "Dia kayaknya kenal deket sama ketua redaksi, deh. Gue aja nggak pernah diizinin liat datanya, tuh."
Birru terdiam cukup lama. Meski belum yakin dengan asumsi yang mulai terbentuk di kepalanya, ia tetap saja menyuarakan apa kini mendesak di kerongkongan. "Aku boleh mundur aja, nggak, Mbak?"
"Loh? Kenapa? Katanya kamu pengen ngerjain naskah yang ringan-ringan dulu sampai akhir tahun ini? Ini ringan banget loh, Birru. Tulisannya juga rapi. Tipe kamu banget ini. Cuma tinggal benerin konten tulisannya aja. Plot hole, konsistensi .... Dijamin nggak bakalan kesiksa, tuh, mata kamu selama nyunting—"
"Aku nggak bisa, Mbak."
Giliran Anggi yang terdiam sekian detik. "Ada yang nge-trigger kamu, ya?"
"Iya ...." Semoga suara pelan itu bisa terdengar sampai ke telinga Anggi. Nadanya yang lemah, seharusnya sudah cukup dijadikan sinyal bahwa Birru tidak bisa menjelaskan lebih lanjut.
Beruntung, Anggi adalah atasan yang super peka.
"Ya udah. Ntar aku coba bicarain dulu, ya. Tapi aku nggak janji, loh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Awan Biru
RomantikBirru inget Ata. Yang tampilannya budak korporat banget; rambut berantakan, muka kucel karena terlalu banyak pikiran, kemeja putih yang lengannya digelung hingga siku, tapi jam tangannya mahal. Persis kayak punya Papi. Ata juga inget Birru. Bocah ce...