10.

354 39 2
                                    

Setelah malam itu mereka berdua semakin dekat bahkan Sean selalu menempelinya terus, seperti tidak ingat umur.

"Mah basok ada acara perpisahan inget kan." Sean sekarang udah ga canggung lagi buat manggil Papah-Mamah pada Adrena, tapi kadang kalo lagi berdua masih manggil nama.

"Iya, emang di wajibin ikut." Ujar Adrena mereka sekarang tengah berada di ruang tengah berkumpul, karna anak-anaknya juga berada di sana sambil bermain tablet.

"Ga juga sih, tapi kan Papah mau Mamah ikut juga." Sean ini lagi bujuk sebenernya, besok ada acara perpisahan tingkat akhir di gedung serba guna dan biasanya dibolehin bawa oranglain, mangkanya Sean ngajak istirnya.

Masa sendiri terus, berasa jomblo.

Adrena tampak berfikir, "Anak-anak gimana Pah." Ujar Adrena yang memikirkan nasib anak-anaknya besok kalo di tinggal buat nemenin Sean.

"Besokkan Dede libur trus Abang juga cuman eskul doang kan, biar Neneknya aja yang jemput. Papah udah bilang tadi." Jelas Sean seperti sudah mempersiapkan semuanya.

"Emangnya ga ngerepotin." Adrena merasa tak enak dengan mertuanya.

"Ya engga lah, masa cucu sendiri keberatan." Celetuk Sean.

"Ga, maksudnya takut repotkan orangtua kamunya Pah."

"Udah Mamah tenang aja, pokoknya besok harus ikut titik!" Ucapan Sean terdengar mutlak tak bisa terbantah kan, Adrena hanya bisa membuang nafasnya pelan.

"Papah."

Sean  menolehkan kepalanya.

"Papah coba pencet ini." Angga menyerahkan tablet yang sedang mereka mainkan, terihat menampilkan game ludo disana.

Sean menuruti dengan memencet arahan dari putranya.

"Papah warna merah ya." Ujar Angga, Sean hanya menganggukan kepalanya.

Lalu Seno dan Chiko ikut menghampiri, jadilah mereka berempat memainkan game ludo.

"Perasaan punya Dede dapet 6 mulu dadunya." Ujar Sean.

"Haha Papah masih jauh, kita udah pada masuk satu tuh." Ujar Seno mengejek Papahnya.

Seno ini beneran duplikat dirinya, Adrena bilang Seno orangnya diem. Mana! dia malah bawel banget udah gitu kalo ngomong tajem banget lagi, Sean sampe suka ngelus dada. Untung anaknya, kalo bukan udah di jadiin umpan piranha nih.

Ucapannya ngeselin dia jadi sadar apa dulu dia kaya gitu mangkanya Adrena sempet gondok padanya.

Mereka ga pernah akur.

"Atuh Papah juga baru main, kalian udah duluan. Curang lah." Ujar Sean ga mau kalah.

"Tapi punya Papah kita mainin juga ko." Ujar Chiko karna memang tadi mereka kurang orang jadi dimainin.

"Iya iya udah Papah mah kalah aja kalo udah lawan tiga orang." Dengus Sean yang selalu kalah debat dengan anak-anaknya, karna mereka seperti merundungnya. Tidak ada yang berpihak padanya, mereka kompak sekali.

Awas aja sih kalo dia punya anak cewek bakal dia hasut buat dukung Papahnya aja.

Kekanakan memang Sean ini ya.

Adrena yang sedari tadi memperhatikannya hanya tersenyum kecil, dia sudah merasakan kehadiran Sean yang sesungguhnya.

Awalnya terasa asing karna Sean tampak canggung tapi sekarang Sean seperti sudah kembali pada dirinya sendiri.

Apa bener ya Sean kemaren cuman sakit, trus udah sembuh gitu sekarang?

Halah teing lah.

.

Amnesia? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang