Edgar langsung saja membuka matanya, dan menatap ke arah Aurora yang sedang menyembunyikan wajahnya di dada bidang Edgar.
"Lo kenapa?" tanya Edgar.
"Hiks...gue takut hujan," ujarnya sambil menangis.
"Hujan aja kok, ngapain ditakuti, udah geser sana," ujar Edgar sambil ingin melepaskan pelukan Aurora."Gak! Gak mau!" ujar Aurora.
"Berat Rora, gue gak terbiasa di peluk gini," ujar Edgar.
"Gue takut, Edgar,", lirihnya.
"Cuma hujan aja, petirnya juga gak kuat," balas Edgar.Aurora dengan terpaksa melepaskan pelukan tersebut, dan menatap Edgar dengan mata sembabnya. Ia pun beranjak dari tempat tidur tersebut, dan melangkah menuju pintu.
Sebelum benar-benar keluar, Edgar bertanya kepada Aurora.
"Lo, mau ke mana?" tanyanya.
"Mau ke kamar," balas Aurora dengan suaranya yang serak.
"Ohh ya udah, jangan lupa pintunya di kunci," ujar Edgar.Aurora langsung saja keluar, dan kembali mengunci pintu kamar tersebut, keadaan rumah masih mati lampu. Dengan keberanian yang sudah ia kumpulkan, Aurora berjalan menuruni tangga menuju kamar tamu yang biasa ia tempati.
Setelah mengunci pintu, Aurora langsung saja naik ke tempat tidurnya dan mencoba untuk tidur. Biasanya jika seperti ini, ia akan ditemani oleh bundanya.
Flashback On
"Bunda..., Lola takut ujan," ujar seorang gadis kecil berumur 2 tahun tersebut.
"Ya udah, sini sama Bunda, nanti Bunda yang temani tidur, ya."Aurora yang berumur 10 tahun berlari menuju kamar kedua orang tuanya, karena malam ini hujan deras.
"Bunda... Bunda..." panggil Aurora dari depan pintu kamar.
Bundanya yang mendengar panggilan tersebut, langsung saja membuka pintu kamarnya dan mendapati putri kecilnya yang sedang menangis.
"Rora takut..."
"Tidur sama Ayah Bunda, ya.""BUNDA...RORA TAKUT!" ujar seorang gadis remaja berumur 17 tahun.
"Udah besar juga, sini biar Bunda temani tidur, Rora kayak anak-anak aja."Flashback Off
"Hiks...mau Bunda," ujar Aurora menangis.
Petir semakin kuat serta hujan dan angin yang kencang. Sementara dial dalam kamar Edgar, ia sudah tertidur pulas.Tiba-tiba suara panggilan dari ponselnya, yang membuat Edgar dengan terpaksa bangun untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Siapa sih, malam-malam nelpon," ujarnya kesal.
"Bunda, ngapain nelpon malam-malam." Edgar pun mengangkat panggilan tersebut."Halo Edgar."
"Iya bun? Ada apa, kok nelpon Edgar malam-malam."
"Kamu sekarang lagi sama Rora, kan?"
"Maksud Bunda, Rora itu phobia sama hujan, dia bisa sesak nafas karena phobia nya, tolong temani Rora, ya Edgar."
"Iya bun."
"Ya udah, kalau gitu Bunda tutup, ya."
Panggil tersebut pun berakhir. Edgar segera beranjak dari tempat tidurnya dan berlari keluar kamar, ia menuruni tangga dengan cepat dan hanya menggunakan penerangan dari senter ponselnya. Sekarang yang dipikirkannya adalah Aurora, ia takut terjadi sesuatu dengannya.Setelah sampai di depan pintu kamar ruang tamu, dengan segera Edgar mengetuk pintu tersebut.
Tok tok tok
"Rora, buka pintunya," ujar Edgar tetapi tidak mendapatkan jawaban apa-apa.
"Rora, jangan main-main, buka pintunya sekarang!"
Lagu dan lagi tidak ada sahutan dari dalam kamar. Karena memiliki kesabaran yang tipis, Edgar pun langsung saja mendobrak pintu tersebut.Pintu kamar tersebut terbuka, dengan segera Edgar melihat ke arah tempat tidur, dimana Aurora sedang meringkuk sambil menangis. Edgar pun menghampiri Aurora.
"Rora," ujarnya lembut.
"Hiks...hiks... Rora takut."
Tiba-tiba Aurora merasa sesak di dadanya karena menangis sedari tadi. Edgar yang melihat hal tersebut langsung panik."Rora!"
"Mana inhaler nya?" tanya Edgar, dan Aurora pun menunjuk ke arah meja. Dengan segera Edgar mengambil inhaler tersebut lalu membantu Aurora untuk menggunakannya."Tenang, tarik nafas pelan-pelan," ujarnya mencoba untuk membuat Aurora tenang.
Dengan perlahan Aurora sudah bisa bernafas dengan normal, Edgar langsung saja memeluk Aurora."Gue takut," ujar Edgar.
"Gue temenin tidur, ya."
Aurora menggeleng sebagai jawabannya, "Nggak usah, gue sendirian aja, cuma hujan aja kok," balas Aurora.Edgar menyesal sudah mengatakan hal tersebut ketika Aurora datang menghampirinya di kamar tadi.
"Maaf, gue bilang gitu tadi. Intinya gue bakal nemenin lo tidur di sini, ini juga perintah dari Bunda," ujar Edgar.
"Bunda nelpon, lo?"
"Iya, makanya gue langsung datang ke sini," balas Edgar.
"Gue takut lo kenapa-kenapa."
"Gue rasa, kalau Bunda gak nelpon lo, gue udah gak ada, ya," ujar Aurora.
"Jangan buat gue makin merasa bersalah, Rora. Gue minta maaf," ujar Edgar."Udah lah, gue mau tidur," ujar Aurora, lalu membaringkan dirinya dan membelakangi Edgar. Edgar pun juga membaringkan dirinya tetapi ia tidak membelakangi Aurora, Edgar terus saja menatap punggung Aurora, sampai keduanya tenggelam dalam mimpi masing-masing.
Pagi ini, Aurora langsung saja bangun dan meninggalkan Edgar yang masih terlelap dalam tidurnya. Hari ini mereka tidak ada kegiatan apa-apa, jadi Aurora akan pergi ke laundry untuk mengambil baju pengantin mereka.
Ia pun masak untuk sarapan, lalu bersiap-siap untuk pergi dan meninggalkan sebuah catatan kecil di atas meja.
Ia pergi menggunakan taksi yang sudah ia pesan tadi. Sementara Edgar yang baru bangun, langsung pergi ke dapur karena perutnya yang sudah sangat lapar, ia melihat ke arah meja yang sudah tersaji banyak makanan. Edgar melihat sekeliling dan tidak menemukan keberadaan istrinya, ia pun menatap ke arah sebuah catatan kecil yang ada di atas meja dan membacanya.
Gue pergi ke laundry bentar, sarapan udah gue buat, jangan lupa dimakan, kalau lo gak sarapan pagi, nanti lo sakit.
Edgar menyunggingkan senyumnya setelah membaca surat dari Aurora, ia pun menyimpan surat tersebut kedalam saku piyamanya, lalu duduk dan menikmati sarapan yang sudah di buat oleh istrinya.
Sementara Aurora, ia baru saja sampai untuk mengambil baju pengantin mereka. Ketika ingin kembali, ia berpapasan dengan mantan pacar Edgar, yaitu Clarisa.
"Wahh, ada si pelakor nih," ujar Clarisa. Aurora sangat malas untuk menanggapi pembicaraan benalu yang ada didepannya, ia pun memutuskan untuk melewatinya saja.
Clarisa tidak menyerah begitu saja, ia pun mencekal lengan Aurora, dan Aurora langsung saja menatap tajam ke arah Clarisa.
"Lepas."
"Kalau gue gak mau, kenapa?" tanya Clarisa menantang. Dengan segera Aurora menarik tangan Clarisa dan membalikkannya ke belakang, membuat Clarisa memekik kesakitan."Aduh...,sakit anjir! Lepasin tangan gue!"
"Kalau gue gak mau, kenapa?" tanya Aurora mengikuti nada bicara Clarisa yang tadi.
Aurora langsung saja melepaskan tangan Clarisa, lalu mendorongnya."Jangan pernah usik hidup gue lagi," ujarnya dengan tatapan tajamnya, Aurora pun langsung masuk ke dalam taksi yang masih menunggunya sedari tadi. Sementara Clarisa hanya tersenyum melihat kepergian Aurora, sepertinya ia merencanakan sesuatu.
Hai Guys,ini Cerita untuk Event PENSI VOL 3
Support aku ya😊
Jangan lupa Vote,Komen, dan Follow ❤️✨
Tunggu kelanjutannya besok ya
Pantengin terus akunnya Renn
Khamsahamnida ✨❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ketos My Husband |END| (TERBIT)
JugendliteraturEdgar Emiliano Adison, seorang laki-laki dengan sifat dinginnya dan ketegasannya dalam menjalankan tugasnya menjadi seorang ketua Osis. Datar adalah ekspresi wajah yang selalu ditunjukkannya kepada semua orang. Bagaimana jika seorang Edgar menjalin...