4. Penawaran

356 48 7
                                    

Zee berdiam diri di parkiran apartemen Nunew dalam keheningan. Bayangan adik perempuannya meregang nyawa semasa transisi menjadi vampir hinggap di kepalanya. Saat itu teknologi tidak secanggih sekarang. Bidang kedokteran masih minim. Tidak ada bank darah juga. Jadi harus mencari manusia-manusia yang mau menyumbangkan darah dengan bayaran tinggi. Saat itu adiknya memang sekarat karena penyakit, jadi ketika proses transisi terjadi, tubuhnya sedang lemah. Ketika jantungnya berhenti berdetak, darah manusia tidak cukup menghidupkannya kembali. Semua upaya sudah diusahakan, tapi tubuh adiknya menolak darah yang dimasukkan ke tubuhnya. Semuanya kacau hari itu. Ayah dan ibunya kalang kabut, manusia dan vampir lalu lalang membantu transisi itu berjalan lancar, tapi tidak ada satu pun yang berhasil. Dan itu masa paling kelam dalam hidup keluarganya. Ayahnya merasa bersalah karena dialah vampir yang mengubahnya. Ibunya tidak berbeda, dia merasa kesalahan utama berada di pihaknya karena dialah yang memaksa sang ayah untuk segera mengubah adiknya. Sedangkan Zee saat itu tidak bisa berkutik di sebelah adiknya karena dia juga dalam posisi baru saja selesai transisi. Jadi tubuhnya lemah. Yang bisa dia lakukan hanya menangis dalam diam sambil melihat adiknya meregang nyawa.

Beruntung ayah dan ibunya tidak melampiaskan rasa bersalah mereka pada Zee. Walaupun membutuhkan waktu panjang untuk pulih dari kehilangan anak, orang tua Zee tetap memedulikan dan memperhatikan Zee. Mereka tidak pernah menuding-nuding dirinya karena menjadi salah satu anak  yang hidup. Mereka malah bersyukur Zee hidup, tidak ikut mati bersama adiknya. Namun, tanpa disadari kedua orang tuanya. Dia merasa paling bersalah karena hidup sedangkan adiknya tidak, padahal mereka bersama-sama melakaukan transisi.

Setelah tenang, dia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Sambungannya begitu lama, tidak ada yang mengangkat. Namun Zee tak putus asa. Dia mencoba berkali-kali menghubungi orang itu. Pada menit ke sembilan, suara sapaan terdengar di kuping Zee.

"Halo, siapa ini?"

"Hai, Nhu," sapa Zee, tanpa suara dinginnnya. 

"Mr. Panich?"

"Maafkan aku karena emosi padamu tadi."

"Apa kau mabuk?"

Zee terkekeh, "Tidak. Aku hanya baru saja selesai menenangkan diri dan merasa bersalah karena meluapkan emosiku padamu."

"Oke. Maaf diterima. Tapi aku tidak akan meminta maaf dengan perbuatanku."

"Sayang sekali. Kalau begitu kau siap dihantui olehku setiap saat."

"Hah? Apa-apaan?"

"Bersiap saja!" Zee mematikan sambungan dan pergi dari lingkungan apartemen Nunew.

-

"Bagaimana pertemuan Master dengan anak itu?" tanya Moon sambil menyuapkan daging ke dalam mulutnya. Rise dan Floe juga menatap ke arahnya, seakan-akan menunggu jawaban darinya.

"Menyenangkan," jawabnya seraya memasukkan buah kiwi ke dalam mulutnya.

Sekarang 3 pasang mata fokus padanya, seolah-olah dia tidak percaya Masternya berkata begitu. Menyenangkan dalam kamus Zee adalah menakut-nakuti  musuhnya hingga bisa kencing di celana. Namun yang ini lain dari biasanya karena saat bilang "Menyennagkan", Zee terlihat sungguh gembira dalam artian benar-benar senang bukannya menyeringai seperti psikopat.

"Master tidak menakut-nakutinya, kan?" Moon belum juga tenang sampai mendapatkan jawaban yang pasti.

"Awalnya dia memang gelisah, tapi setelah itu dia berhasil melawan."

"Syukur deh masih ada yang waras menghadapi Master. Apa aslinya anak itu memang seimut  difoto?" 

Bayangan wajah Nunew muncul di benak Zee. Dibilang imut, dia memang imut. Tapi tipe wajahnya tidak bisa dibilang tampan, mungkin lebih ke arah cantik. Kulit wajahnya juga tidak tampak berbeda dari foto, mulus tanpa jerawat. Bintik-bintik sisa jerawat pun tidak ada. Kalau Zee gay, mungkin dia akan suka punya pasangan dengan tipe wajah seperti Nunew. Tampilannya memang tampak lembut, tapi kalau sudah mengeong cakarnya serasa ingin menembusnya.

Bite MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang