37

695 91 69
                                    

Jemian kembali menemui paginya yang tidak indah. Paginya yang berantakan, carut-marut, kebingungan dan tak tahu apa yang harus dia lakukan setelahnya. Padahal pagi sebelum-sebelumnya dia selalu bersemangat. Menyambut mentari dengan riang dan senyum hangat. Tapi pagi ini semuanya berantakan. Dirinya dan pikirannya tidak bisa dia kendalikan.

Dia bangun di ranjang yang berantakan, dengan tubuh telanjang di balik selimut tipis. Sudah bisa ditebak apa yang terjadi semalam. Benar, Jemian kembali menjadi bajingan.

Dia usap wajahnya dengan gusar, dan raut yang kusut itu masih tak bisa terselamatkan. Dia kenakan pakaiannya yang tanggal. Berjalan lunglai ke luar kamar. Mencari Viona untuk mengucap sepatah kata maaf. Tidak ada yang bisa dia katakan lagi selain maaf dan penyesalan. Tapi jika gadis itu meminta pertanggung jawaban, Jemian tidak akan lari. Atau bahkan jika Viona menjebloskannya ke penjara dia tidak akan melakukan perlawanan.

Dia dapati Viona berada di halaman, sedang menyiram bunga-bunga yang tumbuh di sana. Ada sedikit helaan napas yang terdengar saat Jemian mendekat. Tapi begitu gadis itu sadari kehadiran Jemian, ekspresinya langsung berubah. Ada senyum yang dia paksakan.

"Viona..."

"Kau susah bangun? Sarapan lah, aku dan Ayah baru selesai makan. Ada obat pengar juga di atas meja," Viona berucap santai, amat santai hingga Jemian bingung harus memulai pembahasan dari mana. Padahal dia pikir akan ada caci maki yang ditujukan padanya. Ada tamparan keras yang akan menghiasi pipinya. Bukannya senyum manis dan kesan tidak ada masalah.

Secara umur Jemian lebih tua dari Viona, tapi gadis itu justru yang terlihat lebih dewasa untuk menghadapi masalah semalam daripada dirinya. "Viona, aku ingin meminta maaf atas kejadian semalam. Aku telah lancang... aku akan bertanggung-"

"Jemian, tidak ada yang terjadi diantara kita semalam," selang air di tangan Viona telah berhenti mengalir. Hanya sisa tetesnya yang membasahi tanah. Terlalu sunyi percakapan mereka hingga canggung terasa mencekik.

Jemian menelan ludahnya, amat sulit untuk kembali bersuara. Masih tidak mengerti mengapa Viona memilih jalan untuk melupakan hal semalam. Padahal Jemian jelas telah merusaknya. Menjadi orang pertama dari hal yang selalu Viona jaga. Seharusnya bukan Jemian yang berhak mendapatkannya. Jadi bagaimana Viona bisa seenteng itu mengatakan tidak terjadi apa-apa?

"Aku memang mabuk, tapi aku tidak lupa ingatan tentang hal semalam Viona. Aku akan bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan, aku tidak akan lari."

Viona mengerjapkan matanya, tawaran Jemian terdengar menggiurkan. Tapi dia tidak ingin menahan Jemian dengan cara seperti itu. Bahkan kejadian semalam masih dia ingat nama siapa yang berulang kali Jemian sebut. Claire, dan hanya Claire. Jadi tidak akan bisa Viona gantikan nama itu sampai kapan pun.

"Kamu harus kembali ke Iluasia besok, jadi teruskan saja rencanamu. Akan lebih baik bagi kita seperti itu. Lagi pula aku tidak menyalahkanmu, aku yang suka rela memberinya malam itu."

Jemian makin kesulitan merangkai kata. Benar, Claire telah menunggunya di Iluasia. Tapi sejak kejadian semalam, dia juga tak akan semudah itu meninggalkan Viona seperti rencana sebelumnya.

"Aku tidak akan pergi jika kamu menyuruhku untuk tinggal."

Viona tersenyum, Jemian akan tinggal jika ditahan, tapi mengapa tidak dia saja yang menetap dengan suka rela?

"Kita hidup di dunia yang berbeda Jemian. Kau tidak akan bisa tinggal di sini selamanya, dan aku juga tidak bisa hidup di duniamu yang gelap itu. Jadi mari kita jalani hidup kita masing-masing. Itu akan lebih baik untuk kita berdua."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
TWO SIDESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang