“GUYS, MINTA PERHATIANNYA DONG SEBENTAR!!” Erin berteriak keras di depan kelas dengan penggaris panjang yang sengaja ia pukulkan di papan tulis agar teman sekelasnya yang sedang ribut itu memperhatikannya.
Kelas yang tadinya ribut berubah hening, mereka semua sudah kembali duduk di meja masing-masing dan memusatkan pandangan ke depan sana.
“Kenapa, Rin?” tanya Wahyu, cowok berkumis tipis yang tempat duduknya di depan meja Noa.
“Gini, dua minggu lagi kan ada pertandingan antar sekolah. Berhubung sekolah kita yang jadi tuan rumahnya, pihak osis dan sekolah sepakat buat sekalian ngadain bazar. Tiap kelas wajib buat ikut. Tadi, gue, Esha, Adrian sama Rifqi udah berunding sama Bu Karin, kelas kita bakal buat pameran lukisan atau kerajinan sekaligus buat minuman dan makanan.” Jelas Erin panjang lebar.
“Kita bagi dua kelompok, yang sebelah sini runding perihal pamerannya, dan yang sebelah sana runding makanan dan minuman buat dijual.” Ujar Adrian sang ketua kelas sembari menunjuk dua deretan meja sebelah kanan, dan kiri.
“Soal belajar, Bu Karin bilang katanya buat hari ini di pakai buat berunding aja dulu.” Lanjutnya.
“Nanti kalau ada usul, bilang sama gue. Biar gue tulis dulu di papan tulis, untuk hasil akhir kita pake sistem vote.” Timpal Esha.
“Kita minta hari ini buat jangan bercanda dulu, soalnya waktunya mepet dan ini keputusannya memang mendadak. So, kita harap kalian ngerti dan jangan ribut.” Tambah Rifqi, si wakil ketua kelas dengan tegas, matanya sekilas melirik tiga perusuh kelas yang masih duduk anteng di kursinya masing-masing.
“Terutama lo, Genta Pramadji!” tunjuk Erin langsung kepada Agan yang kini mengerjap kaget karena merasa terancam dengan keempat pengurus kelas yang sedang dalam mode serius.
“Baik, baginda ratu. Hamba akan mengunci rapat bibir cipokable ini.” Balas Agan sembari mengangkat tangannya memberi gerakan hormat.
“Udah, mulai sekarang. Waktu kita gak banyak!” titah Adrian tegas. Cowok yang sebenarnya masih sebelas dua belas kelakuannya dengan tiga perusuh kelas itu kini seolah berbeda 180°. Wibawanya sebagai seorang pemimpin keluar, begitu pun Esha, Erin, dan Rifqi.
Sementara Noa di pojokkan sana diam-diam memperhatikan Esha. Gadis cerewet yang hari ini mengikat setengah dari rambutnya itu terlihat berbeda sekali, ada aura yang baru pertama kali Noa lihat. Dan Noa berani jujur bahwa ia kagum dengan gadisnya hari ini. Sangat menarik sekali di matanya. Apalagi mata bulatnya yang kini menyorot tajam menatap satu persatu dari teman kelasnya, siap menegur mana kala ada salah satu dari mereka yang bercanda.
Dan tatapan kagum itu tertangkap oleh Esha, gadis itu melotot garang sembari menggerakkan tangannya seolah siap melayangkan spidol untuk ia lemparkan kepada Noa apabila Noa berulah.
Noa terkekeh melihatnya, sangat menyenangkan melihat Esha seperti itu. Terlihat keren sekaligus lucu.
“Woy! Nyengir aja lo, buruan bagi usul juga!” tegur Wahyu ketika melihat Noa yang tertawa sendirian seperti orang sinting.
Noa mendelik, “usul apaan?”
“Ini nih, punya telinga dua kagak berguna. Makanya dengerin, bro. Kita di suruh berunding perihal bahan buat pameran nanti!” kata Alika dari barisan depan sejajar dengan meja Saka dan Agan, dia melempar pulpen patah yang ditemukannya di bawah meja kepada Noa.
Noa mengangguk paham. “Oh, gue buat lukisan nanti dua. Yang lainnya terserah.” Ujarnya di balas acungan jempol dari Saka.
“Emang bisa?” tanya Vika, gadis yang duduk di depan meja Wahyu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Couple
Teen FictionYang orang lain tahu, Noa dan Esha adalah musuh bebuyutan. Atau kalau kata Lizard boy, mereka adalah dua bocil kematian yang hobinya merusuh. Saling mengejek, saling tendang, saling pukul, itu sudah seperti rutinitas wajib mereka. Pokoknya tiada har...