021 || Terciduk Part 2

195 76 13
                                    

“Kelas kita jadi liburan kata Bu Karin.” Esha yang sedang menjemur handuk Noa menoleh ketika Noa menghampirinya dengan ponsel di tangan.

“Ke mana?” tanya Esha.

“Gak tau, katanya nanti pakai sistem vote lagi.”

Sudah satu minggu sejak bazar itu diadakan dan sekolah berhasil mempertahankan juara tetapnya. Begitu pun kelas Esha, hasil penjualannya satu minggu terakhir berhasil memberikan uang yang terbilang fantastis.

Esha dan Noa memang hanya bolos satu hari. Setelah teman-teman Noa menjenguk hari itu, besoknya mereka berdua masuk. Sebenarnya itu Noa yang memaksa katanya ingin menonton teman-temannya di tim basket. Berhubung ia tidak di perbolehkan untuk ikut tanding oleh Pak Anhar, walaupun Noa sempat protes sebab hanya keningnya yang luka bukan anggota tubuhnya yang lain. Katanya ia masih mampu untuk ikut berkontribusi, untungnya di larang keras oleh Pak Anhar.

Luka di kening Noa juga sudah mulai mengering, jahitannya juga sudah lepas hanya meninggalkan bekas sedikit. Kata dokter bekasnya akan memudar apabila rutin di oleskan salep.

“Nunduk,” Esha menarik bahu Noa turun, agar memudahkannya untuk mengoleskan salep di bekas luka Noa.

“Masih sakit gak kalau gue sentuh gini?” tanya Esha menekan sedikit luka di pelipis Noa.

“Enggak, udah gak sakit. Gak perih juga kalau kena air.” Balas Noa.

“Bagus deh, berarti udah sembuh. Tinggal hilangin bekasnya doang.” Esha tersenyum manis.

Noa juga ikut tersenyum, ia mengapit hidung Esha gemas. “Makasih pau udah rawat gue sampai sembuh.”

Esha mengubah senyum manisnya menjadi kerlingan jahil. “Tidak gratis, tuan. Pau minta imbalan berupa telur gulung satu keresek.”

Noa mendelik seraya melepas tangannya dari hidung Esha. “Mau bisulan lo, demen banget ngemilin telur gulung. Padahal seribu kagak ada kenyang-kenyangnya, mending bikin sendiri.”

“Bilang aja lo males anterin gue. Yaudah gampang, gue bisa cari sendiri, lagian si bilu udah balik juga.”

“Dih siapa bilang? Orang si bilu di ambil sama Mas Ezra.”

“Loh? Kapan, kok gue gak tau.”

Noa kembali menunduk lalu menyentil kening Esha. “Pelupa dasar. Lo yang kemarin kasih kuncinya.”

Esha terdiam, benar juga. Dia baru ingat bahwa motor andalannya sejak SMP itu memang di ambil Mas Ezra, Kakaknya kemarin. Katanya sih untuk transportasi ke kampus, mobil Mas Ezra di ambil Ayahnya soalnya.

“Yaudah anterin gue dong, sebentar doang janji. Penjual telur gulung langganan gue ada di persimpangan jalan depan kok, dia suka di sana soalnya.” Esha mulai merengek, bahkan gadis itu menggoyang-goyangkan lengan Noa.

“Ayo,” Esha mulai menunjukkan wajah memelas agar Noa menuruti kemauannya.

“Emang paling bisa lo drama kayak gini. Yaudah, ayo buruan.” Noa melenggang pergi masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci motornya, sekalian mengambil cardigan cokelat milik Esha yang tertinggal di sana. Hari memang masih sore tapi Noa tak akan membiarkan kulit Esha terkena angin jalanan.

Esha bersorak senang bahkan menggoyangkan pinggulnya sembari mengenakan sendal jepit kebesaran milik Noa. Gadis itu tidak peduli akan penampilannya, mereka hanya akan membeli telur gulung tak perlu berdandan cantik-cantik. Karena Esha yakin ia masih terlihat menawan di mata Noa. Katakan saja bahwa ia terlalu percaya diri. Tapi bukankah itu memang kenyataannya?

Noa bahkan pernah melihatnya tertidur, melihatnya yang cemong karena tepung, melihatnya yang berantakan, dia terlihat ilfeel? Tidak bukan. Kalau pun iya ilfeel, Noa pasti sudah sejak lama meninggalkannya, nyatanya hubungan yang absurd ini saja sudah berjalan satu tahun lebih.

Hidden Couple Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang