015 || Cooking Date

181 78 10
                                    

“Serius? Tumben banget kumpulnya di sini.” Ujar Esha heran ketika Noa bercerita bahwa siang nanti teman-temannya akan berkumpul di apartemen miliknya yang tepat berada di sebelah apartemen Esha. 

Noa mengangkat bahunya acuh, dia juga sebenarnya heran apalagi ini permintaan Agan yang notabenenya selalu lebih senang berada di rumah Jiel karena makanan yang banyak. Kini cowok setengah waras itu malah meminta untuk berkumpul di apartemennya.

“Gak tau lah, gak ngerti gue. Berhubung gue gak ada makanan, bikin makanan dong. Apa kek, yang enak di jadiin camilan. Gue males beli ke bawah.” Pinta Noa, cowok yang rambutnya masih setengah basah itu sudah nangkring sejak pagi di apartemen Esha.

Tadi sempat pulang ke apartemennya, tapi kembali lagi setelah mandi, makanya rambutnya itu masih setengah basah karena belum sempat di keringkan.

“Nanti gue bikin martabak mini, sekalian coba cetakannya. Baru datang paketnya kemarin soalnya.” Usul Esha setelah membuat tumis ayam kecap untuk sarapan Noa dan dirinya.

Noa mengangguk mendengarnya. Walaupun ia sering dipanggil si pelit, nyatanya Noa tak akan membiarkan teman-temannya berkunjung tanpa menyajikan camilan. Ia masih tahu diri.

“Masih panas jangan dulu di mak-,” belum selesai Esha berkata Noa sudah lebih dulu menyuapkan satu potong ayam kecap itu ke dalam mulutnya, hingga sekarang cowok itu mengaduh kepanasan.

“Keluarin, sini.” Esha mengulurkan tangannya dan Noa mengeluarkan sepotong ayam itu dari mulutnya. Tak ada rasa jijik bagi Esha, itu sudah biasa. Selain kepada Noa, ia memang sering melakukan hal ini kepada kakak laki-lakinya yang tingkahnya hampir seperti Noa.

“Minum sana, makanya orang ngomong tuh dengerin sampai selesai. Kena batunya kan,” omel Esha sembari membuang potongan ayam tadi ke dalam tong sampah.

“Lidah gue ke bakar, nanti gak bakalan kerasa enak lagi masakan lo.” Noa memberengut, cowok itu bahkan sudah memajukan bibirnya, yang mana di mata Esha hal itu makin membuatnya terlihat mirip dengan bibir bebek.

“Minum aja dulu, makannya nanti. Lagian ini masih panas.” Meskipun sebenarnya enggan, tapi Noa menurut.

By the way, jam berapa mereka ke sini?” tanya Esha kembali ke pembahasan awal soal teman-temannya yang akan datang.

“Nanti juga ngabarin kalau udah di depan. Lo mau apa?” tanya Noa melihat pergerakan Esha yang mulai menurunkan berbagai macam mangkuk dengan ukuran besar hingga kecil dari lemari atas dapur.

“Mau buat adonan martabak, kenapa mau bantuin?” Noa mengangguk, dia yang semula duduk di meja makan langsung mendekati Esha yang tengah kesulitan mengeluarkan mangkuk yang ukurannya jauh lebih besar dari yang sudah ada di meja dapur.

“Pendek sih,” ejeknya.

Esha berkacak pinggang, tak terima di bilang pendek ia akhirnya melayangkan pukulan di bahu Noa cukup keras. “Enak aja gue tinggi. Lo aja yang kelebihan kalsium.”

Untuk yang satu ini Esha berbicara fakta, pasalnya gadis itu memang terbilang tinggi untuk perempuan, bahkan ia menjadi gadis paling tinggi di kelasnya. Hanya saja tinggi Noa yang memang kelewatan selalu bisa membuat tubuhnya terlihat pendek padahal nyatanya tidak seperti itu.

“Noa, tolong ambil cetakannya dong di depan sana. Gue belum sempat bawa ke sini, belum gue buka juga.” Noa mengangguk, dia melenggang pergi untuk mengambil paket yang tersimpan di dekat lemari sepatu di sebelah pintu apartemen. Dia membukanya lalu membersihkannya menggunakan tisu yang Esha berikan.

“Kalau mau bantuin pake celemeknya, biar baju lo gak kotor nanti.” Ucap Esha sembari membawa satu buah celemek bermotif kotak-kotak dan ia pakaikan kepada Noa. “Nunduk dikit,” pintanya.

Hidden Couple Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang