036 || Dalam Ruang Memori

48 11 4
                                    

Hai!! hehe, adakah yang menunggu anak-anakku update?

Wkwk, mohon maaf ya sayang sayangku, diri ini telat update lagi. Terlalu sibuk in real life, sampai lupa kalau anak anak kesayanganku ini terlupakan begitu saja.

So, sebagai permintaan maaf, malam ini aku update dua part!!

Baiklah, selamat membaca ya sayang sayangkuu

🌻🌻🌻

Esha mengelus lembut rambut Noa yang sudah mulai memanjang. Lagi-lagi Noa berbaring di pangkuan Esha, tanpa mengatakan sepatah kata pun, Noa berbaring memejamkan matanya rapat-rapat.

Mereka sudah kembali ke apartemen, hari juga sudah malam. Teman-temannya sudah lebih dulu memasuki kamar dan mungkin sudah terlelap juga. Tapi Esha memilih di sini, di sofa besar apartemen orang tua Jiel, menemani Noa.

Sejak pulang dari rumah sakit tadi, Noa belum juga membuka suara. Ia membisu, namun Esha tahu di balik membisunya Noa ada hati yang kembali patah karena kalimat tak menyenangkan yang ia dengar dari Ibunya sendiri.

“Noa,” panggil Esha.

Noa berdehem sebagai balasan, tanpa membuka kedua kelopak matanya yang tertutup.

“Tau gak analogi bulan Desember?” tanya Esha berusaha menarik perhatian Noa kembali, dan berhasil. Noa kini membuka matanya memusatkan pandangan menatap wajah manis Esha.

“Apa?” tanyanya penasaran.

“Bulan Desember itu adalah bulan terakhir di kalender Masehi, kan?” Noa mengangguk kecil sebagai jawaban.

“Bagi gue analogi bulan Desember itu sama dengan sebuah penutup. Penutup tahun, dan alangkah lebih baiknya kalau tahun ini juga ditutup dengan suasana yang lebih baik.” Lanjutnya dengan suara yang halus mengalun indah menyapa indra pendengar Noa.

Noa menaikkan sebelah alisnya tak mengerti, “maksudnya?”

“Kalau gue minta lo buat berdamai dengan keluarga lo, lo keberatan gak?” tanya Esha hati-hati.

Sebenarnya Esha tidak pernah berpikiran seperti ini sebelumnya, namun saat melihat bagaimana diamnya kedua orang tua Noa saat Jiel berbicara, itu cukup membuatnya mengerti bahwa sebenarnya masih ada kasih sayang yang mereka berikan untuk Noa.

“Bukannya dulu lo yang gak mau gue balik ke sumber sakit gue?” tanya Noa, benar-benar tak mengerti dengan ucapan Esha yang terlampau tiba-tiba. Padahal sebelumnya, gadisnya itu yang selalu memarahinya perihal masalah yang satu ini.

Esha mengangguk, tak membantah perihal yang satu itu. “Dulu iya, karena dulu gue hanya mendengar tanpa melihat langsung bagaimana keadaan yang sesungguhnya.”

Jeda sejenak, Esha menarik napas dalam-dalam lalu meniupkannya di dahi Noa. “Tapi tadi gue lihat secara langsung. Ada pancaran penuh rasa bersalah yang orang tua lo berikan waktu Jiel ngomong panjang lebar.”

“Jangan bohong!” sanggah Noa seraya berusaha mencari pancaran kebohongan di binar mata Esha, namun sayangnya Noa tidak menemukannya. Itu berarti ucapan Esha benar adanya.

Esha memutar bola matanya malas, lalu menjitak pelan dahi Noa. “Serius gue, ngapain juga bohong buat masalah kayak gini.”

Noa membuang napas kasar, ia bergerak semakin mendekatkan diri ke perut Esha. “Kalau pun benar, kok mereka langsung pergi. Bukannya mendekat sama gue?”

Hidden Couple Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang