4. Gadis Dalam Perjalanan

1.7K 189 6
                                    

Dedaunan menghijau. Musim semi ke enam dan mungkin yang terakhir untuk Ailee mengabdi pada keluarga Easther.

Rasanya baru kemarin tangan Ailee digenggam oleh laki-laki pemilik manik biru itu. Sosok yang selalu membuat Ailee melambung tinggi ke langit.

Oleh senyumnya. Oleh keindahan matanya. Ah, bahkan ketika melamun pun dia sangat menawan. Ciptaan Tuhan yang tidak bisa Ailee gugat keindahannya.

Sedangkan Ailee?

Sebuah kereta kuda berhenti. Keluar seorang Lady dengan pakaian manis. Langkahnya saja terlihat berkelas. Dia memasuki butiq yang berada di depan penginapan ini.

"Kalau aku sepertinya. Apa mungkin aku akan diperlakukan dengan baik? Rasanya.... tidak adil. Cinta itu... apakah hanya para bangsawan yang boleh memilikinya?"

"Hah, berpikir apa kau Ailee," dengusnya lelah.

Besok Ailee akan melanjutkan perjalanan kembali. Menuju desa dekat perbatasan. Tempat di mana Nyonya Rosa menyediakan tempat tinggal dan segala kebutuhan.

Ah, seharusnya Ailee patut bahagia bukan? Kapan lagi diberi rumah dan dibiayai seumur hidup? Ailee tidak perlu letih bekerja. Bangun siang pun tidak ada yang protes. Tapi... perasaan apa ini?

Rasanya hampa. Seolah seseorang merampas tujuannya.

Ailee tersenyum masam. Ada gurat kesedihan di dua iris hazel itu. "Seharusnya aku tidak boleh serakah. Ketahui posisi mu dan hiduplah selayaknya orang biasa." Tangan Ailee ke atas. Menghalangi sinar matahari yang datang dari jendela. "Selamanya, matahari akan dipandang sebagai matahari. Bagaimana bisa aku bermimpi meraihnya. Dia akan membuat ku mati terbakar."

Tok tok tok

Ailee menoleh. Tanpa membuka pintu. Pelaku di balik pintiu itu bersuara, "Nona, kita akan meneruskan perjalanan pagi-pagi sekali. Istirahatlah malam ini."

"Ya, terimakasih."

Ailee menyisir sekitar. Kamar penginapan sederhana dengan kasur dan beberapa furnitur yang terbuat dari kayu. "Hah, Pak kusir benar. Aku harus istirahat." Ailee merenggangkan badan. "Seharian di dalam kereta membuat badan ku pegal. Ugh! Mungkin akan beda rasanya jika keretanya sama seperti milik Lady tadi."

"Setelah sampai di desa Semenanjung Karapan. Aku akan hidup dengan baik. Bertemu dengan orang-orang baru dan menikah." Ailee merobohkan diri ke kasur. Membiarkan tangan kanannya terulur ke atas. "Ya Ailee! Kau hanya perlu melupakannya. Cinta pertama mu. Lagi pula, tidak selamanya cinta pertama itu berhasil kan? Ayolah Ailee! Semangat!"

Butuh setidaknya berjam-jam untuknya mengoceh dengan langit-langit kamar. Orang yang mendengar, mungkin mereka pikir yang mendiami kamar adalah wanita gila. Tidak tahu saja mereka ada hati yang terus berusaha meyakinkan agar tak jatuh dalam jurang keputusasaan.

Sesuai jadwal. Esok paginya Ailee berkemas kembali. Ia sempat sarapan sebelum menaiki kereta kuda. Lagi, Ailee harus menahan pegal akibat kursi kereta yang tak dilapisi busa. Hanya kursi kayu biasa. Belum lagi jalan yang tidak rata.

Hah, padahal Ailee yakin bokongnya cukup berisi.

"Nona, apa kau tidak nyaman di dalam?" tanya kusir.

"Ah, tidak. Aku nyaman-nyaman saja," dusta Ailee. Ia masih punya hati untuk tidak menyakiti hati pria paruh baya ini.

"Maaf ya, kereta Bapak sudah cukup tua. Kudanya pun tidak bisa berjalan cepat karena pernah cidera saat usianya masih muda dulu. Tapi... dia adalah kuda yang baik. Selalu menemani Bapak mencari nafkah."

"Tidak apa Pak. Justru saya menikmati perjalanan santai ini. Jujur saja ini pertama kali dalam enam tahun terakhir saya bepergian jauh. Mungkin itu sebabnya tubuh saya gampang letih. Bapak tidak perlu minta maaf. Saya yang harusnya berterimakasih karena Bapak terus memperhatikan kenyamanan saya."

The Broken CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang