31. Satu Tembakan

858 94 2
                                    

Aliran air deras terdengar. Jurang curam ada di depan mata. Banyak jejak kaki tercampur. Mana yang milik Ailee. Mana yang milik Allan. Tak bisa dideteksi lagi. Jejak mereka hilang diinjak para pengejar. Ah, jika bisa lolos dari mereka. Ailee bersumpah akan menjalani hidup dengan penuh rasa syukur.

Sesak, entah sudah sejauh apa Ailee berlari. Jatuh, bangkit lagi. Entah sebanyak apa luka di kaki. Tak peduli lagi. Selamat dari pengejar saja sudah beruntung sekali. Berapa kali mereka bersembunyi. Gelap malam ternyata tak mampu menghilangkan eksistens. Para pengejar membawa anjing pelacak. 

Berhenti, tiba-tiba Allan tak menariknya lagi. Ailee tak mampu berkata. Hanya sorot yang mengatakan mengapa.

“Kita berpisah di sini,” lontar Allan. Ailee menggeleng. Nafasnya tersengal. Sekedar mengucap satu kata saja tidak mampu.

“Ailee, kau ingat kata ku dulu? Apapun yang  terjadi, kaulah yang harus selamat.”

“Bagaimana dengan mu?” akhirnya Ailee bisa mengontrol deru nafas.

“Aku akan memancing mereka ke sisi barat. Kau pergi ke timur. Ingat! Ikuti terus aliran airnya.”

Ailee menggeleng. “Tidak! Kita harus bersama. Aku tahu maksud mu. Kau akan mengorbanka diri kan?! Tidak! Aku tidak mau!”

“Ayolah Ailee, kita tidak punya waktu!” Peluh Allan menetes. Ia menoleh ke sumber suara bising di belakang. “Dengar, jika kita bersama. Kau hanya akan membebani ku. Aku bisa berlari lebih cepat dibanding saat membawa mu. Ikuti aliran airnya. Kita akan bertemu di pelabuhan. Aku janji.”

“….”

Ailee kekeuh. Dia menggeleng. Kali ini dengan tatapan memohon. Sungguh! Allan tidak tega. Namun harus.

“Ailee.” Sekali lagi memberi pemahaman. Ia tangkup kedua pundak Ailee. Mengerahkan segala kemampuan agar Ailee percaya Allan akan baik-baik saja. Walau rasanya mustahil.

“Kita akan bertemu di pelabuhan. Aku janji.”

Ailee diam. Tampak sekali sedang menimbang-nimbang.

“Kau janji kan?” ulang Ailee.

“Hum! Aku janji.”

Mereka berpisah. Ailee berlari ke sisi kanan sedang Allan kembali mendekati rombongan pengejar. Menggiring mereka menjauhi Ailee. Berhenti, Allan menyempatkan waktu berbalik sejenak. Menatap punggung gadis itu. “Ailee, maaf.”

“Di sana!” teriak salah satu rombongan. Allan berlari. Terus berlari. Semakin jauh dengan Ailee. Di gelap malam, ia bahkan tidak tahu kemana langkahnya akan berakhir. Jika harus mati di sini, Allan tidak akan menyesal. Setidaknya, dia mati karena menyelamatkan orang. Bukan sebagai pecundang yang tidak bisa melakukan apa-apa.

Nafas Allan tersengal. Peluhnya menetes histeris. Pelariannya menemui ujung pemberhentian. Jurang curam tepat berada di bawah kakinya. Selangkah mundur. Sudah dipastikan tubunya akan terhuyung ke bawah.

Dilihatnya gerombolan orang berwajah sangar. Mereka adalah bawahan Alfonse. Beberapa mengacungkan pedang. Situasi yang tak memungkinkan ketenangan singgah. Namun Allan harus tetap tenang. Gunakan segala cara untuk lolos.

“Kau berani mengacungkan pedang pada ku? Aku yang seorang bangsawan ini, ha?!” gertak Allan. Terdengar murahan memang. Tapi patut dicoba. “Kalian pikir siapa yang berada di hadapan kalian? Aku putra pertama keluarga Rosword. Beraninya kalian!”

Mereka tersentak. Terlihat keraguan di wajah. Beberapa sudah menurunkan pedang. Sampai sebuah suara menderu.

“Kau selalu pandai mengontrol orang dengan kata-kata mu ya, Kakak.”

The Broken CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang