12. Membangkang

1.3K 138 1
                                    

Semesta punya cara unik membuat Ailee paham. Tentang bagaimana karakter seseorag yang mahir menyembunyikan jati diri. Cara teramat sakit. Namun dengannya Ailee semakin yakin untuk mengakhiri kisah tak sempurna ini.

Percikan air membasahi ujung dress pelayan itu. Ailee sengaja membasuh wajah. Rasanya hari ini begitu menyengat. Lihatlah si dalang yang menyebabkan orang-orang memilih teduh di tepi-tepi kediaman. Dia bersinar teramat terang. Untuk mendongak saja rasanya mata ini enggan.

"Ugh." Ailee melenguh. Akhirnya tenggorokan ini menemi masa gersang. Ailee butuh minum sekarang. Kegiatan membersihkan gudang memang sangat melelahkan. Terlebih kali ini Carla tidak hadir. Dia tiba-tiba pulang kampung. Katanya, Ibunya demam parah.

"Semoga Ibu Carla segera sembuh," gumam Ailee. Ia beranjak pergi dari sumur. Perihal keringnya tenggorokan ini harus segera diatasi.

"Permisi, aku boleh minta segelas air?" ucap Ailee pada tiga orang yang kini tengah sibuk membersihkan dapur. Biasa, setelah aktivitas memasak, mereka rutin menata ulang perkakas dapur.

"Oh, hai Ailee," sapa Jean. Dia datang dari pintu sebelah kiri. Menenteng kotak sampah yang sudah kosong.

Ailee menghindar bertemu tatap. Sumpah demi apapun, perkataan Tuannya tempo kemarin masih terngiang jelas. Intuisinya meminta agar tak membangkang. Sebab, orang itu. Orang yang dengan segenap hati Ailee cintai. Sepertinya dia bisa melakukan segala cara untuk membuat Ailee jera.

"H-hai." Untuk mengabaikan. Rasanya Ailee tidak tega.

"Butuh sesuatu?" Kini Jean sudah di depan Ailee. Tunduknya semakin dalam. Cengkraman jemarinya semakin kuat. Jean sadar itu. "Ailee?"

Sungguh! Ailee ingin segera pergi dan menyendiri. Di tempat ini, tembok saja bisa menjadi mata dan telinga. Ailee harus hati-hati. Jika tidak.... Ailee menatap sekilas dua manik Jean. Ah, dia tidak ingin orang tak bersalah menjadi korban.

"Ti-tidak jadi." Melesat begitu saja. Mengabaikan beberapa orang yang menatap heran. Terutama Jean. Terakhir kali, Ailee sedikit terbuka. Apa yang membuat wajah ketakutan itu kental terasa?

Ternyata pikiran Jean tak hentinya tersita pada gadis pemilik manik hazel itu. Dia bertingkah aneh. Cenderung menghindar. Jean pikir itu hanya reaksi sesaat. Wanita dan segala gejolak perasaannya. Bahkan Jean dengar, ketika mendekati hari datang bulan. Mereka akan berubah sensitif. Ternyata bukan karena itu. Sudah hampir seminggu dan Ailee semakin menutup diri. Bukan hanya ke Jean. Tapi ke semuanya. Khususnya laki-laki.

"Apa dia diancam?" gumam Jean. Langit-langit kamar menjadi objek pandang.

Bunyi derit menginterupsi malam. Jean bangkit dari posisi rebahan. Dirinya tak cukup puas memejamkan mata dengan pikiran penuh.

"Aku harus menemui Ailee," finalnya setelah berpikir ulang.

Jean punya rumah pribadi. Hanya berjarak setengah jam dari kediaman Easther. Saat malam singgah. Ia lebih memilih melepas lelah di rumah. Tak keberatan meski harus menunggang kuda yang berperan sebagai penarik gerobak bahan makanan.

Malam ia pecah dengan kegiatan. Sunyi jalanan beratap bintang malam tak menyurutkan tekad Jean. Pada kenyataannya, hatinya terus mengganjal. Sang nestapa telah singgah ke hati gadis itu. Jean bertanya-tanya walau secara logika ia pun tak mau bersua. Hatinya yang ingin melihat gadis itu kembali ceria.

"Ailee...." gumam Jean dengan kuda berpacu sedang.

Langkah membawanya pada tepian dinding kediaman. Mengarah ke tempat di mana kamar Ailee berada. Beruntungnya Jean tak perlu memasuki kediaman karena kamar Ailee berada dekat dengan taman belakang.

The Broken CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang