25. Bertemu

988 117 7
                                    

Allan baru sempat membuka surat yang datang kemarin sore. Setelah latihan membidik. Sungguh, ia melupakan surat yang datang dari Ayahnya itu. Bukan karena tak peduli. Hanya saja, Allan muak dengan berbagai macam perintah. Semakin menyadarkan, bahwa selama ini Allan hanya menjadi bidak yang bisa dikorbankan kapan saja.

Adiknya, Alfonse semakin berjaya. Kadang kala Allan dibanding-bandingkan. Sejak kecil Alfonse memang sosok yang cerdas. Dia mewarisi watak sang Ayah. Penuh ambisi dan gila kehormatan. Berbanding terbalik dengan Allan.

"Hah, walaupun begitu aku masih bagian dari keluarga." Dia buka surat berstampel khusus itu. Lambang pedang menjadi ciri khasnya.

Mata Allan bergerak ke kiri dan kanan. Membaca isinya. Lalu tanpa harus menyembunyikan kekesalan. Allan berdecak. "Untuk apa tua bangka itu kemari?!"

"Tck! Menyusahkan saja!"

Allan meremat kertas itu lalu membuangnya ke tungku api. Sorotnya tajam menatap kobaran api. Bersamaan dengannta. Surat itu berubah menjadi abu.

Dia bergerak. Tangannya lihai memotong bahan makanan yang akan menjadi menu sarapan pagi ini. Sesuai kesepakatan, sudah jadi tugasnya untuk memasak. Sedangkan Ailee, mungkin saat ini sedang menyapu halaman. Atau mengerjakan hal lain.

Bibir Allan sedikit tersenyum. Tak menyangka gadis dingin di pesta malam itu ternyata bisa sekoperatif ini. Dia dipenuhi kejutan.

Diambilnya dua mangkuk. Allan menuangkan sup ayam ke masing-masing. Pergerakannya berhenti. Teringat kembali senyum cerah Ailew setiap kali menyantap hasil masakannya.

"Dia suka makan ternyata." Kembali senyum itu mengembang. Dan surut ketika benih pemberontakan dimulai.

"Alangkah baiknya jika kita bisa terlepas dari orang-orang yang hanya bisa memanfaatkan," gumamnya.

Sorot teduh itu menemukan tujuan. Begitu tajam dan penuh ambisi.

Muak! Mungkin satu kata itulah yang mendoronh Allan nekat mengambil langkah nekat. Di balik dirinya yang mengajukan diri menjaga Ailee. Dia punya rencana lain.

Allan akan pergi. Jauh sekali. Membuat identitas baru. Hidup baru. Dan Allan akan membawa Ailee. Sesuai dengan yang gadis itu inginkan. Allan akan mewujudkan kebebasannya. Besok adalah rencananya. Ia akan memulai hidup baru sebagai warga biasa. Sudah dari jauh hari dia menyiapkan dokumen palsu. Baik miliknya maupun milik Ailee.

"Hei, bagaimana kalau kita jalan-jalan ke pelabuhan?" Denting sendok berhenti. Ailee menanggalkan suapannya demi memastikan ucapan Allan.

"Latihannya?"

"Khusus hari ini latihan diliburkan."

Senang? Jelas! Ailee tidak perlu berdiri di depan papan bidik seharian. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Kenapa harus hari ini? Setelah kemarin dia bilang Ailee harus latihan ekstra.

"Kenapa tiba-tiba? Bukankah kau yang bilang aku harus rajin latihan supaya fokus ku stabil?"

"Karena hari ini spesial." Dia bicara dengan nada teduh. Namun matanya dipenuhi kesedihan tersirat.

"Baiklah," balas Ailee. Mencoba menjaga privasi masing-masing. Walau rasanya ingin ia ulik semua rahasia di mata sedih itu.

Allan hendak berdiri. Membawa sajian sarapan pagi ke dapur. Kebetulan Ailee selesai duluan. Dia sudah mencuci piring miliknya beserta gelas.

"Tunggu!" pekik Ailee. "Itu tugas ku," tunjuknya pada piring dan gelas milik Allan. "Kita sudah sepakat bukan? Kau menyiapkan makanan. Aku yang mencucinya."

"Ah, maaf. Aku lupa." Allan menaruhnya kembali.

"Hais kau ini. Sepertinya perangai Tuan Muda mu hampir hilang ya? Kau sudah terbiasa hidup men-jelata seperti ku," sindir Ailee. Ia terkekeh singkat.

The Broken CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang