34. Epilog

2.6K 149 7
                                    

Pagi punya banyak rahasia. Diam-diam menyelipkan butiran embun di atas wajah-wajah pencari rejeki.Berharap dengannya mereka bisa kembali segar dari rasa kantuk. Kicauan burung yang seolah menyemarakkan mulanya hari. Memiliki motivasi tersendiri bagi jiwa-jiwa dilanda suntuk akibat rutinitas pagi yang sama.

Bangun dari alam mimpi. Sarapan. Lalu berangkat kerja. Ah, pada dasarnya rutinitas itu selalu berjalan pada porosnya setiap saat. Terdengar membosankan bukan? Ya, memang. Tapi… di sini. Di desa Hawari. Seolah kata itu dileburkan dalam tiap momen tak disangka-sangka.

Keramaian yang memeluk hangat. Keramah tamahan yang melelehkan ego. Ini adalah desa yang indah. Luar dan dalam. Setahun ini, Ailee merasa diterima. Walau dia pendatang asing. Mereka memperlakukan Ailee bak keluarga sendiri. Mengasihi Ailee seperti mereka mengasihi anak sendiri.

Ailee sembuh. Berkat mereka. Penduduk desa Hawari. Sekali lagi, Ailee bangkit dari keterpurukan. Sekali lagi Ailee membuka lembar hidupnya. Untuk kembali menuliskan kisah tanpa melupakan pengalaman yang sudah-sudah.

Sudah Ailee katakana bukan? Dia tidak akan mengulangu kebodohan yang kedua. Akan ia jalani hidup ini sesuai kehendaknya. Termasuk mendatangi kediaman bangsawan untuk mengajukan protes akibat kenaikan pajak lahan yang kian mencekik.

“Kalian tahu sendiri. Harga pupuk juga mengalami kenaikan. Belum ditambah akomodasinya. Wajar jika pajak tahun ini naik. Ah, berapa kali aku harus menjelaskan. Orang-orang seperti kalian ini tahunya hanya meminta. Giliran sudah begini protes. Saya hanya memberi apa yang kalian minta. Butuh pupuk saya beri. Butuh bibit gandum saya sediakan. Semua itu tidak gratis. Ada anggarannya. Dan dari pajak itulah kalian membayar.”

“Tapi Tuan, tahun ini kami mengalami paceklik. Persediaan kami tidak cukup untuk membayar pajak sebesar itu,” ucap kepala desa. Ya, Ailee datang bersamanya. Lebih tepatnya Ailee diajak. Sebab, di desa Hawari. Hanya Ailee satu-satunya orang yang mampu baca tulis.

“Itu urusan kalian. Sudah saya sediakan lahannya. Sudah saya berikan sarana dan prasarananya. Kalian hanya tinggal menjalankan. Urusan paceklik sudah tanggung jawab kalian. Yang jelas, pajak harus tetap dibayar.”

Ailee tak bisa lagi menahan geramnya. Ia menarik nafas dalam-dalam sebelu, berujar, “Maaf menyela, Tuan. Setahu saya, pajak ditentukan oleh pemilik wilayah. Jika dilihat, wilayah ini adalah kekuasaan Count Easther. Sejak kapan bangsawan berstatus Baron memiliki hak untuk menentukan pajak?”

Terlihat gurat kemarahan. Namun berusaha laki-laki paruh baya itu sembunyikan. Ia mengusap dagu sebagai pengalihan.

“Kau benar. Aku memang tidak punya hak. Tugas Baron hanya mengelola dan memastikan perekonomian berjalan seimbang. Tapi… ini adalah titah langsung dari atas. Aku hanya menyampaikan. Jika kau ingin protes. Silahkan protes ke kepala keluarga Easther.”

Tidak mungkin kan? batin Ailee. Dia sudah tidak ada. Sekarang yang ada di balik tirai mengendalikan semuanya adalah Galan. Itu sebab kenapa dia jarang mendampingi Ailee di sini. Dan Ailee benar-benar yakin Galan tidak mungkin menaikan harga pajak setinggi itu. Orang inilah yang bermasalah!

“Kalau begitu mana surat perintahnya?” tantang Ailee.

“Tck! Jika ku tunjukan memang kau bisa baca?!” dengus Baron itu.

“Keluarkan saja, Tuan,” ucap Ailee dingin.
Tidak punya pilihan. Paruh baya dengan rambut klimis itu menyuruh pelayannya. Tidak lama gulungan kertas dengan pita merah diulungkan.

“Lihatlah sendiri!” Toh dia tidak bisa membacanya.

Ailee membukanya. Manik hazel itu bergerak dari kanan ke kiri. Membaca isinya.

The Broken CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang