27. Masalah Besar

959 105 1
                                    

Langit kuning keemasan menghiasi langit sore. Semilir angin mampu menyibak hordeng-hordeng yang terbuka jendelanya. Buku-buku tertata rapih. Dalam waktu sepersekian detik, kemoceng bulu menyentuh. Seseorang tengah membersihkan etalase.

Buku dengan cover kulit yang diwarnai merah maroon menjadi perhatian. Ailee membaca judul, bibirnya bergerak tanpa suara.

“Kau tertarik dengan buku itu?” Suara baritone tepat berdengung di belakang telinga Ailee. Sangat dekat. Sampai Ailee bisa merasakan hembusan nafasnya.

“Ti-tidak.”

Licht tersenyum kecil. Dia ambil buku itu. “Kau boleh membaca apapun yang kau mau. Jangan sungkan.” Ailee menunduk. Diajarkan membaca saja sudah beruntung. Pelayan mana yang diperlakukan sebaik Ailee? Licht selalu memberi apapun yang Ailee suka. 

Aroma segar menguar. Datang dari Tuannya. Adalah seberat-beratnya ujian saat Tuannya baru selesai mandi. Pipinya bersemu merah. Seperti biasa, matanya tak sanggup menatap manik sebiru langit itu.

“Te-terimakasih.” Ailee mengambil buku itu. Yang pada dasarnya hanya iseng dia lirik.

Ruang kerja menjadi satu-satunya tempat bagi Ailee bebas menjadi siapa pun. Licht tak memasang etiket bangsawan. Membiarkan Ailee berekpresi sesukanya. Membaca, menikmati camilan di meja. Atau sekedar melamun di jendela. Teritori ini adalah milik mereka. Tak ada kasta. Hanya dua orang biasa.

Suara kekehan terdengar. Ailee menoleh. Mendapati Licht di meja kerja. Samar semu merah kentara di antara proporsi sempurna wajah paripurna. Wanita mana yang tidak luluh melihat wajah bak pahatan dewa itu? Dia ahlinya menebarkan aura pemikat.

“A-ada apa?” tanya Ailee. Keheranan. Dia meninggalkan fokusnya pada buku. Menunggu jawaban.

“Tidak. Aku hanya ingat sesuatu yang lucu.” Licht berdiri. Dia duduk di samping Ailee. “Hei, boleh kupinjam bahu mu sebentar?”

Ailee meneleng. “Boleh saja. Tapi untuk apa?”

“Untuk ini….” Licht mendaratkan kepalanya. Lalu memejamkan mata. “Berat?” tanyanya.

“Ti-tidak.”

Sungguh! Ailee mematung detik itu juga.  Ailee tidak bisa berpikir waras. Dia memilih diam.

“Ailee, jangan kaku seperti itu. Pundak mu jadi tidak nyaman.”

“Ma-maaf.”

Licht tersenyum jail. “Cobalah mengusap kepala ku.”

“Ha?” celetuk Ailee spontan. Membelakakan mata. “I-itu tidak sopan. Kata kepala pelayan, aku tidak boleh menyentuh kepala. Baik pelayan, apalagi Tuan. Di sana adalah letak harga diri seseorang.”

“Haha, wah, Edward benar-benar mengajarimu dengan baik. Yah, itu benar. Tapi kau tahu Ailee? Harga diri ku tidak berlaku di depan mu.” Licht menggiring tangan Ailee ke atas kepalanya. Menggerakannya pelan. Memberi Ailee stimulus awal.

Terkejut? Sudah pasti! Namun Ailee hanya bisa menurut.

“Ailee, kadang aku berpikir lebih mudah jadi rakyat biasa. Hidup bebas dan menikmati waktu bersama. Membangun keluarga kecil dan menikmati hari tua.” Diam sejenak. Licht menatap sendu langit orange kemudian terkekeh. “Haha, bicara apa aku. Sepertinya aku sedang lelah," ucapnya seraya meraup wajah.

Ah, hampir saja Ailee berharap. Jika itu nyata. Mungkin akan menyenangkan. Membayangkan hari-hari damai. Menyiapkan sarapan. Piknik di samping danau. Atau sekedar malas-malasan di kamar. Indahnya.

Melamun, Ailee terbuai dengan bayang-bayang hingga tak sadar Licht telah mendarat di pangkuan.

“Tu-Tuan?” Ailee memekik.

The Broken CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang