17. Pesta

1.1K 139 10
                                    

Matahari kembali ke peraduan. Mencincing kilau keemasan diujung padam. Indah bagi para mata memandang. Harta karun semesta yang ditujukan bagi makhluk kesayangan. Yang wujudnya diciptakan paling sempurna. Memiliki akal. Namun sayang, memikul banyak nafsu keduniawian.

Senja adalah salah satu definisi keindahan dari banyaknya hadiah Tuhan. Dan di sini. Di hadapan Licht. Senja berada tepat di pupil matanya. Tersenyum canggung sambil membenarkan untaian anak rambut.

"Sa-saya terlihat aneh," ucapnya canggung.

Masih tak bergeming. Terpaku pada kecantikan Ailee. Padahal, pakaian yang dikenakan tidak begitu mencolok. Licht sengaja memilih warna putih berpadu dengan cream di ujungnya agar tak menarik perhatian.

Namun sia-sia saja usahanya. Wajah itu... siapa yang tidak akan jatuh hati? Bahkan Licht pun--

Tunggu!

Jatuh hati?

Aku?

"Titah mu, Tuan," sambar Galan yang juga sudah memakai pakaian formal. Jika tak ia sadarkan Tuannya. Mungkin mereka akan tetap berdiri di halaman depan dan berakhir telat menghadiri acara pesta.

"Ehem, ayo berangkat."

Ailee mengekori dua pria jakung di depannya. Salah satunya berhenti di depan pintu kereta kuda. Dengan senang hati dia mengulurkan tangan.

"Sampai kapan kau mengabaikan tangan ku?" ucap Licht. "Kau harus belajar mengandalkan pasangan mu, Ailee."

Ugh! Tidak bisakah dia menambahkan pasangan pura-pura di kalimatnya? Sejak kemarin dia terus-terusan mebyenut Ailee pasangannya. Dan dia mengatakan dengan wajah yakin.

Dengan berat hati Ailee meraihnya. Kereta berjalan santai. Sesantai perasaan Licht malam ini.

Ah, entahlah. Di banding santai mungkin lebih tepatnya nyaman. Selama garis edar pandangannya mencakup gadis pemilik netra hazel ini. Kekhawatiran Licht seakan menguap. Dia juga tidak tahu kekhawatiran mana yang dimaksud. Hanya saja... berjauhan dengan Ailee membuat hatinya gusar tanpa sebab.

Seperti biasa bulan setia menemani. Dia hidup di atas sana. Mengawasi para penduduk bumi hingga waktu di mana mereka terlelap. Udara malam cukup dingin, mereka masuk melalui sela-sela kereta dan menyapu kulit Ailee yang tak terbalut kain. Membuatnya terpaksa mengusap lengan untuk menciptakan hangat.

"Dingin?" Suara itu memecah keheningan.

"Tidak," jawab Ailee. Tak berani menatap. Salah satu kebiasaannya jika sedang berbohong.

"Haah, aku mengenal mu bukan sehari dua hari. Percuma kau menutup-nutupi." Licht melepas mantel dan menutupi lengan Ailee.  "Pakailah."

"Saya tidak apa-apa Tuan."

Kening Licht mengerut dalam. Lagi-lagi dia mengucapkannya. Akhir-akhir ini Licht lebih suka Ailee memanggil nama tanpa embel-embel Tuan.

"Ma-maksud ku. A-aku tidak apa-apa, Licht," ralat Ailee. Tahu betul ekspresi Licht sudah kecut seperti itu.

Bibirnya mengembangkan senyum. "Bagus. Aku lebih suka kau yang seperti ini," ucap Licht. Mengalir begitu saja. Mengungkapkan apa yang hatinya inginkan. "Ah benar! Aku punya sesuatu untuk mu." Licht merogoh kantung dan mengeluarkan sebuah benda. Tadinya ia ingin memberikan pada Ailee saat di halaman. Sayang, hatinya berdegub kencang sampai lupa tujuan.

"Kemarikan tangan mu," pinta Licht. Ailee nurut saja. Dia arahkan tangannya. "Aku membeli gelang ini di alun-alun kota. Dia percaya siapa pun yang memakainya akan selalu bersama."

Selesai, Licht mengikatkan gelang rajut itu ke pergelangan tangan Ailee. "Lihat," ujar Licht menunjukan pergelangan tangannya. "Ini sepasang."

Mata Ailee tak henti-hentinya terbelalak. Kadang ia menghindar bertemu tatap. Sebab, ia tahu wajahnya kini sudah semerah tomat. Menerima tatapan teduh manik biru itu, Ailee tak pernah kuat. Pasti dirinya yang kalah. Atau... dirinya yang pasrah? Entahlah, yang jelas. Apa yang harus Ailee katakan sekarang?

The Broken CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang