10. Terbelenggu

1.2K 153 3
                                    

Embun pagi mulai beranjak pergi. Memenuhi titah sang pembagi waktu untuk datang keseokannya. Mata manusia kadang tak bisa menjamah keberadaannya. Karena titik-titik yang terdiri dari berjuta partikel air itu telah menguap oleh karena dekapan sang mentari.

Ah, rasanya ingin jadi si embun. Dia selalu datang lebih dulu mendahului yang lain. Menyapa bumi dan segala isinya.

Walau kehadirannya singkat, kadang dinginnya mampu membuai seseorang untuk kembali melanjutkan tidur. Sungguh partikel alam yang posesif.

Namun, tidak bisa kan? Ailee punya segudang tugas yang mengharusnya bangun lebih pagi. Bukan hanya Ailee. Semua pelayan di kediaman ini juga punya tugasnya masing-masing.

"Ailee...."

"Ailee...."

Suara seroang wanita menginterupsi. Dia datang terengah-engah. Padahal masih terlalu dini untuk megeluarkan begitu banyak keringat. Dari wajah pucatnya, Ailee sadar wanita yang menempati bagian dapur ini sedang sakit.

"Ada apa Mona?"

"Hah... hah... Bisakah kau menggantikan ku pergi ke pasar? Sepertinya aku terserang flu. Aku takut tidak sanggup pergi dan malah merepotkan orang."

Jujur saja, sebelumnya Ailee belum pernah menggantikan posisi ini.

"Emh... aku tidak tahu apa saja yang harus dibeli dan bagaimana memilih sayuran yang bagus."

"Tenang saja!" Raih Mona pada pundak Ailee. "Kau tidak sendiri. Kau hanya perlu membantu membawa keranjang belanja. Bagaimana?"

Jika ada kesempatan untuk sejenak keluar dari tempat menyesakan ini. Mungkin inilah waktunya.

"Baiklah," ucap Ailee menyanggupi.

****

“Ailee?”

Si pemilik nama menoleh. mendapati Jean dengan baju santai dan dua keranjang belanja.

“Ah, ternyata kau. Ku pikir siapa,” ucap Ailee. Seperti biasa, ia lebarkan senyumnya. Wajah itu mahir menyembunyikan luka yang terpatri nyata oleh sebab si manik biru. Melalui titahnya, melalui keangkuhannya dan melalui pesonanya. Seolah hati ini tersugesti, akan tunduk pada setiap ucapnya. Laki-laki yang memiliki netra secemerlang langit namun menyimpan segudang tanya.

Jean tersenyum canggung. Terpantau tangannya menggaruk tengkuk belakang. “Di mana Mona?” tanyanya basa-basi. Padahal Jean sudah tahu Mona sakit. Entahlah, berhadapan dengan Ailee membuatnya tidak nyaman. Bukan dalam arti benci. Tapi yang lain.

“Mona tidak enak badan. Dia meminta ku menggantikannya.”

“Oh, begitu.”

Seekor kuda beserta gerobaknya sudah terparkir tidak jauh dari mereka. Nantinya gerobak itulah yang mengangkut bahan-bahan.

Kecanggungan mengisi suasana. Selama perjalanan mereka lebih banyak diam. Berbeda dengan Ailee yang tampak santai melihat-lihat sekeliling. Kuda yang berjalan lambat membuat hatinya tenang. Hembusan angin yang tercipta turut memberi kenyamanan. Sedangkan Jean?

Oh ayolah! Sejak tadi mati-matian ia tahan rona merah pipinya. Sungguh! Jika bisa berjalan kaki. Jean rela menempuh jarak jauh. Tapi... rasanya aneh bukan? Jika tiba-tiba dia turun? Untuk sekarang tahan saja. Lewati ini dengan diam. Begitu pikirnya. Sebelum suara indah itu mengalun merdu.

"Jean, yang di sana itu apa namanya?" tunjuk Ailee ke arah barat.

"Ah, itu kincir angin."

"Kincir angin?" ulang Ailee. Wajar saja dia terkejut. Terakhir kali Ailee keluar rumah saat ulang tahun ke 12. Entah kenapa saat itu Tuan Licht mengajaknya jalan-jalan dan membelikan Ailee makanan enak. Saat itu benda besar dengan baling-balingnya bergerak lambat itu belum ada. Ailee semakin penasaran. "Itu gunanya untuk apa?"

The Broken CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang