24 | Bertemu Semu

29 23 1
                                    

Taehyung berusaha mati-matian menahan napasnya tidak tersengal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Taehyung berusaha mati-matian menahan napasnya tidak tersengal. Ia tahu percakapan barusan sangatlah dalam. Ia mengerti bahwa segala hal yang terjadi padaku bermula dari nya.

Tidak lama mengurung pemikirannya, pria itu pergi meninggalkan ruanganku. Entah mungkin ia pulang atau pergi mengisi perut. Lapar.

*****

Di sisi lain, terdapat dua manusia saling melengkapi yang sedang mengadu nasib.

Wajahnya seiras, lengkung hidung, garis muka, dan senyuman nya. Nyaris sempurna.

Salah seorang dari mereka  memegang sesendok bubur yang tampak mulai dingin karena orang satu lagi tidak sudi memakannya barang sesuap.

Genta memohon kepada saudara kembarnya Joe. Makan sesuap saja sungguh akan membuat hati Genta lega.

Namun nihil. Joe tidak mau makan. Sementara Genta terbalut dalam kesedihan, Joe berujar tiba-tiba. Mengatakan sesuatu di luar prediksi BMKG. Maksudku prediksi nya Genta.

"Neomu bogo sipeo. (Aku merindukan nya.) Gadis kecil bermata kelinci itu sungguh membuat hati dan kepalaku tidak beroperasi secara komersial. Aku telah melupakannya. Sungguh Kim yang malang.
Geu salam-eun geujjog segyeeseoneun gwaenchanhnayo? (Apa dia baik-baik saja di belahan bumi sana?)"

Benar. Tidak salah lagi, yang Joe bicarakan adalah aku, Jiasa Kim. Gadis yang memanggil Genta sebagai Jangmi di sekolah.

Genta terduduk tegang di samping kasur Joe. Saudara kembarnya itu semakin hari semakin banyak mengigau. Teringat masa lalu hingga ingin kembali ke masa lampau demi bertemu aku, manusia bernama Jia untuk terakhir kalinya.

Berbeda hal dengan keadaan di atas langit. Sinar rembulan bersinar terang, terlihat menyembul dari balik gorden rumah sakit tepat di kamar Joe. Benar-benar menakjubkan menyaksikannya.

Namun tidak demikian dengan Joe, pria malang yang tengah terbaring hampir separuh hidupnya di rumah orang sakit ini.

Kepalanya tidak lagi tumbuh rambut. Wajahnya juga tidak terlihat segar seperti siswa SMA berumur delapan belas tahun seusianya.

Sungguh pucat dan iba. Genta tidak bisa menahan air matanya.

"Nae dongsaeng (Saudaraku)" Joe mencoba melanjutkan obrolannya.

"Ne (Iya)" Genta menjawab saudaranya itu.

"Bagaimana jika aku menggantikanmu sekolah seminggu ini. Kau sudah lama tidak ke sekolah gara-gara mengurusi manusia tidak larat seperti ku. Hanya saja aku ingin bertemu dengan sahabat kecilku itu."

Genta tidak pernah melihat sinar wajah Joe secerah itu. Juga semangatnya yang sudah lama tidak  timbul.

Pria sehat bernama Genta itu terus menghela napas. Mengaturnya normal sebelum menjawab pernyataan saudaranya.

Joe melanjutkan unek-unek di dalam hatinya. Kali ini ia mencoba bangkit dari kasur yang ia baringi. Duduk bersila dengan mata berbinar.

"Kau? Setuju bukan? Sungguh ide yang cemerlang bukan?"

Genta mendesah dalam hati. Lihat saja, mata kembarannya itu bercahaya namun ia sendiri tidak bisa menutupinya. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia bertahan untuk tidak menangis.

"Apa yang kau maksud itu Jiasa Kim? Hyung?"  Genta berkata pelan, meyakinkan sekaligus menekankan apakah benar gadis yang ia maksud itu Jia.

"Majja! (Ah benar!)Kau cerdik sekali. Jiasa Kim temanku. Aku sungguh melupakan namanya. Asal kau tahu akhir-akhir ini dia sering hadir dalam mimpiku. Seolah mengajak ku ke masa lalu"

Genta kembali terdiam. Ia memejamkan mata. Mengingat kondisi Joe saat ini, sangat tidak mungkin baginya untuk pergi ke sekolah. Beraktivitas seperti orang normal, sungguh ide yang buruk. Tapi sekali lagi Joe mengatakan bahwa itu adalah kesempatan terakhir baginya. Genta tidak paham dengan perkataan yang keluar dari mulut kembarannya. Tidak pernah seumur hidup Joe mengatakan hal aneh itu.

"Aku ingin meminta maaf kepada Jia, ya walaupun kini aku lupa wajahnya. Tapi aku tetap akan meminta maaf karena telah pergi tanpa berpamitan dengan Jia dulu. Hatiku sangat sakit jika mengingat saat itu. Saudaraku kali ini saja aku memohon kepadamu. Aku ingin sekolah seminggu saja."

Genta tidak menjawab, pikirannya sedang menelisik jauh ke keadaan masa depan dimana Joe bertemu Jia dan saling berkomunikasi. Bukan apa-apa, ia sedang melawan bujukan hatinya yang kini sibuk memikirkan plus minus saat nanti Joe sekolah.

Ia sudah memutuskan untuk tidak pernah berhubungan lagi dengan gadis itu. Ya. Aku.

Kalau dipikir-pikir, Joe memang tidak pernah merasakan menjadi siswa SMA. Ia mengidap kanker darah atau Leukemia sejak duduk di bangku sekolah dasar. Namun masih bisa bertahan sampai ia menginjak usia SMP tepatnya di tahun terakhir sekolah menengah.

Mulai sejak itu, Joe tidak lagi melihat dunia luar dan melakukan aktifitas seperti remaja seusianya.

"Genta sshi! Apa kau mendengar ku? Benar kau mengabaikan ku."

Genta bengong tanpa merespon ucapan saudara nya. Sedangkan Joe bertekad bulat untuk menemui Jia dalam waktu dekat ini. Di sekolah atau dimanapun.

Genta sibuk menimbang konsekuensi yang akan terjadi. Dimana saat ini tentu saja aku akan langsung mengenali wajah Joe karena memang sebelumnya Genta telah mendekati ku saat pertama kali gadis itu datang ke sekolah. Aku bahkan memanggil Genta dengan panggilan khusus.

Park Jangmi. Pria gila dan ceria bagi ku, seorang Jia yang telah lupa ingatan.

Genta terus melanjutkan peperangan dalam kepalanya. Menatap lamat-lamat keheningan malam penuh terang bulan. Tanpa sadar bahwa Joe telah raib dari pandangannya. Keluar ruang inap dan pergi menemui cahaya rembulan.

*****

Aku mengunyah potongan apel yang telah dikupas eomma. Menyesap sari manisnya pelan dan berakhir menghembuskan napas panjang. Bosan sekali terbaring sebagai orang sakit.

Eomma sedang pergi keluar. Mungkin mengurus administrasi rumah sakit dan sebagainya. Yang ku lihat tidak ada siapapun yang secara sukarela menungguku di ruang pengap ini. Termasuk pacarku, Kim Taehyung.

Aku merengkuh bahuku sendiri, merasa kesepian. Sama saja memiliki pacar kalau tidak ada manfaatnya begini mendingan aku jomblo.

Benar aku akan mencari udara segar di luar sana. Mumpung eomma belum kembali dan rembulan di luar sangat memanggil jiwaku untuk menggapainya.

Aku melangkah ke daun pintu, membukanya. Memegang erat besi mengkilap yang membawa selang-selang infus. Semrawut.

Lihatlah, nyatanya aku memang tidak kuat berdiri. Berjalan dengan lunglai walau masih ada beberapa nyawa tersisa. Aku terus berpegang teguh pada besi infus agar bisa berdiri tegap. Menepis anggapan bahwa akan pingsan di tengah jalan.

Menjelang sampai di bangku taman rumah sakit, persis di depan pintu masuk utama aku mengerjap. Tidak mungkin salah lihat.

Pria tanpa seheli rambut di kursi roda itu. Mengayuh semangat agar cepat sampai di bangku taman. Satu tujuan denganku.

Jangmi menoleh ke arahku. Namun ia tidak mengindahkannya melainkan terus melanjutkan perjalanan menuju bangku. Walaupun ia tengah terduduk di kursi roda. Ia tetap ingin menuju bangku kosong di bawah rembulan yang menggantung.

Aku memperhatikannya tidak mengerti. Apa jangan-jangan Jangmi tidak lagi mengenaliku?

Tapi kenapa ia tidak punya rambut, maksudku botak?
Wajahnya juga cekung, tidak berisi bagian pipinya seperti seminggu yang lalu.
Bibirnya pucat dan kering seperti kekurangan air.
Lalu kakinya? Kenapa ia tidak bisa berjalan? Ada apa dengan Jangmi?

October/12th/2023

Yuli Markhamah

Terpaut [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang