Jangan lupa follow, vote, dan komen!
🌼🌼🌼
"Padang dandelion dan pantai kala itu." ~Deca Victoria
🌼🌼🌼
Hujan mulai rintik-rintik, membasahi jalanan kota yang mulai gelap. Di tengah dinginnya udara malam, sebuah motor melaju perlahan. Gadis muda di atasnya tampak sibuk dengan pikirannya sendiri.
Saat tiba di rumah temannya, ia mematikan mesin motor, melepas helm, lalu turun. Sosok dengan piyama lucu berdiri di ambang pintu, menunggunya dengan wajah sumringah.
“Luna!” panggil Deca, sambil melambai.
“Letakkan motor di garasi. Langit sudah muram, sebentar lagi hujan deras,” lanjutnya sambil memandang awan kelabu di atas.
Tanpa berkata apa-apa, Luna melempar helmnya yang langsung ditangkap Deca dengan cekatan. Dengan satu dorongan ringan, ia membawa motornya menuju garasi kosong.
Hening menemani langkah Luna saat ia berjalan kembali ke teras, mengusap tetesan air yang mulai membasahi seragam sekolahnya.
“Deca,” ucap Luna tiba-tiba, “bukankah kau punya kakak? Kenapa harus aku yang kau panggil?”
Deca tampak berpikir keras. Matanya bergerak gelisah, mencari-cari jawaban. Namun, Luna tak menunggu balasan. Ia sudah tahu. Deca selalu punya cara untuk menyembunyikan sesuatu—tapi ekspresinya terlalu mudah ditebak.
“Masuk saja dulu,” ucap Deca akhirnya.
Luna memandang langit sekali lagi, menarik napas dalam. “Iel,” gumamnya perlahan. Namanya tenggelam di bawah suara tetesan hujan.
“Luna!” panggilan Deca kembali memotong lamunannya.
Setelah masuk, mata Luna segera tertarik pada dinding ruang tamu. Foto-foto besar tergantung rapi, masing-masing berisi cerita yang seolah tak pernah diucapkan. Namun, satu foto di tengah benar-benar menyita perhatiannya.
Ia mendekat, jarinya menyentuh bingkai yang terlihat begitu megah. Wajah-wajah dalam foto itu tampak bahagia, memancarkan kehangatan yang hampir terasa asing bagi Luna.
“Mereka terlihat serasi, bukan?” suara Deca muncul tiba-tiba, membuat Luna tersentak.
“Siapa mereka berenam?” tanya Luna, matanya masih terpaku pada gambar.
Deca melipat tangan di dada, berdiri di samping Luna. “Mereka sahabat ibu. Yang di tengah itu ayah dan ibuku, sementara yang di kiri dan kanan adalah sahabatnya.”
Luna menatap pasangan di sebelah kanan. Wajah mereka begitu akrab, tapi ia tak bisa mengingat di mana pernah melihatnya.
“Kau tahu di mana sahabat-sahabat ibumu sekarang?” tanyanya.
Deca menghela napas, ekspresinya berubah muram. “Aku tidak tahu. Setiap kali aku bertanya, ibuku selalu mengalihkan pembicaraan.”
Luna tak menjawab. Matanya kini tertuju pada foto lain di sampingnya—berukuran sedang, tapi terasa penuh arti.
“Deca,” panggilnya pelan, “mereka bertiga siapa?”
Deca mendekat, menatap foto itu dengan tatapan yang sulit diartikan. “Yang berseragam dokter itu ibu dari sahabat ibu yang di kanan tadi. Yang berseragam detektif itu tantenya sahabat di kiri. Sisanya... nenekku.”
Ada kekaguman dalam suara Deca. Luna hanya mengangguk, meski pikirannya mulai penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit ia jawab.
Langkah mereka membawa mereka ke kamar Deca di lantai dua. Begitu masuk, Luna disuguhi nuansa biru dan putih yang lembut, kontras dengan kamar miliknya yang terasa suram dengan warna abu-abu dominan.
Deca segera menjatuhkan tubuh di atas kasur, sementara Luna duduk di ujung ranjang, membuka ponsel. Sebuah notifikasi WhatsApp muncul, tapi sebelum sempat ia buka, Deca memanggilnya lagi.
“Luna, lihat ini!”
Luna mendekat. Deca menunjukkan sebuah foto kecil. Di sana ada tiga gadis muda dengan senyum ceria.
“Mereka ibu dan dua sahabatnya saat SMP,” jelas Deca. Ia menunjuk salah satu gadis di foto itu. “Yang ini mirip sekali denganmu.”
Luna memandang lama. Gadis dalam foto itu memang memiliki wajah bulat dan rambut panjang yang mengingatkan pada dirinya sendiri. Tapi itu hanya kebetulan... bukan?
“Jangan-jangan dia ibumu?” Deca bertanya dengan nada antusias.
“Entahlah,” Luna menggeleng, berusaha mengabaikan rasa aneh yang mulai merayap di dadanya. “Mungkin hanya mirip.”
🌼🌼🌼
Keesokan paginya, Deca lambat bersiap-siap, membuat Luna kesal karena mereka hampir terlambat.
“Kenapa kau tidak meminta Rendra menjemputmu? Kau lamban sekali!” Luna menggerutu, tapi Deca hanya mendengus.
“Jangan sebut namanya di depan aku!” potong Deca ketus.
Luna mengangkat alis. "Baiklah," gumamnya.
Namun, di sekolah, pertanyaan tentang Deca dan Rendra ternyata jadi topik di antara teman-teman mereka. Deca, yang biasanya ceria, tampak murung sepanjang hari.
Luna, yang tidak mau mengganggu, memilih duduk di bangkunya. Ia membuka ponsel, dan di layar, sebuah pesan muncul:
62+8********
Jika kau ingin mengetahui tentang keluargamu yang tidak sengaja kau lupakan, temui aku di depan rumah pohon milik ibumu dahulu.
Luna tertegun. Pesan itu singkat, tapi membawa beban yang terlalu besar untuk diabaikan.
TBC.
Sarangbeoo dari Deca! Jangan lupa follow, vote, dan komen agar cerita ini terus berlanjut! 🤗 See you all!

KAMU SEDANG MEMBACA
Daisy
Novela JuvenilHanya sedikit kisah hidup seorang gadis, yang katanya yatim piatu. Kisah seorang gadis yang katanya sangat menyukai bunga Daisy. Kisah gadis yang katanya tidak ingat siapa orangtuanya, siapa neneknya, bahkan kerabatnya. Kisah gadis yang katanya suka...