07. TULISAN KETUJUH

509 62 0
                                    

Aksa di dalam dirinya seolah memberontak, tak terima atas perkataan kedua orang tuanya saat ini. Tak dapat dipungkiri Helena adalah atma yang penuh dengan bestari. Perasaannya menjadi kelam, sama seperti langit Tanah Cayapata yang tak bergemintang. Masih terngiang ucapannya kala di sore hari itu, sembari menatap bagaimana jumantara yang gelap gulita.

***

Langkah kakinya nampak riang cepat seolah tak sabar, dengan tangan yang tak kosong membawa satu baki berisi coklat-coklat yang telah ia buat. Dibelakangnya Helena dan Jagadhita menyusul dengan langkah anggun nan berkarisma.

Jagadhita tersenyum, dikala rambut Owen terlihat bergerak kesana kemari seiring dengan langkah kecil kakinya. Terlihat sangat lembut, dengan pantulan yang seirama.

"Berhati-hatilah, Putraku." Sang Ratu menyapa pertama kali ketika melihat ketiga atma berada di depannya saat ini. Tak ada waktu untuk terlambat, buncah kebahagiaan perasaan Owen sangat positif kali ini.

"Ayah, Ibu. Aku membawakan coklat yang kubuat untuk kalian. Rasanya sangat enak, Ayah dan Ibu harus mencobanya." Netra kucingnya mengkilap menatap penuh harap pada kedua insan yang berjalan mendekat. Mengambil satu-satu coklat yang dibubuhi kembali coklat tabur diatasnya.

Keduanya saling berpandang dikala lelehan coklat dalam mulut dirasakan, menatap penuh binar.

"Sempurna, coklatnya sangat lumer di mulut." Pujian sederhana namun berdampak besar bagi Owen, girang rasanya hati ini.

"Kerjabagus anak-anak, Helena dan Jagadhita sangat pandai membuatnya. Lain kali buatlah coklatnya untuk kami lagi." Tertawa pelan dengan menepuk pundak Owen beberapa kali. Namun, senyuman Owen sirna. Pundaknya yang naik kokoh harus turun secara spontan.

Ayahnya tak menyebut namanya, ayahnya tak memberi selamat kepadanya. Bukankah ayahnya tau bahwa Owen yang berinisiatif untuk membuat coklat? Apakah ayahnya tau buncah kebahagiaan ketika ingin mempersembahkan karya pertamanya untuk sang ayah?

Owen menolehkan kepala ke samping, Helena yang tengah tersenyum lebar mendapat pujian dari sang ayah berturut-turut. Jagadhita yang terdiam, entah apa yang dipikirkan tapi wajahnya terlihat datar seperti biasanya.

"Kakak Shekaa, bisakah kau memegang baki ini? Aku ingin ke toilet sebentar." Tanpa menunggu jawaban dari sang Kakak yang tak jauh dari tempatnya, Owen memberikan baki coklat tersebut dan berlalu dengan langkah pelan.

Pemandangan itu tak luput dari Jagadhita dan Yasa. Keduanya tau, pangeran kecilnya tengah redup. Yasa tau bagaimana derana seorang yang tak pernah dianggap. Tapi apa yang bisa ia perbuat? Dirinya tak cukup kuat saat ini sebelum suaminya dapat menduduki tahta kerajaan. Ingin rasanya menghibur saudara kecilnya, tapi saat ini bukan waktu yang tepat.

Langkahnya tak menuju toilet, tetapi memasuki ruangan yang selalu menjadi tempat terbaiknya di kerajaan ini. Kamar yang menjadi saksi bisu bagaimana gundahnya Owen, hingga tangisan tak bersuara. Dindingnya tebal telinga, tak akan menganggu Owen di kala dirinya menangis. Tapi hari ini ia tak ingin menangis, hanya merebahkan dirinya lalu tak lama terlelap dalam mimpi yang diharapkan dapat menjadi bunga yang indah.

***

Seharusnya malam ini dirinya tertidur nyenyak, tapi apa kata di kala sore hari tadi dirinya malah tertidur hingga tak mampu menutup matanya dikala waktu istirahat. Berjalan-jalan di sekitar istana tak buruk baginya, sekedar mencari angin hingga lelah nan mengantuk.

Memilih berhenti pada salah satu pondok yang tepat di depan air danau kerajaan dirinya memilih untuk beristirahat. Harusnya ia dapat melihat mangata atau bulan yang terpantul dari air danau membentuk jalan emas yang indah. Tapi apa daya, nabastala seolah ikut merasakan kegundahan sang pangeran kecil.

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang