38. CORETAN KETIGA PULUH DELAPAN

415 43 5
                                    

Jiwanya telah diangkat dalam separuh bulan, lalu akan dikembalikan saat waktunya purnama. Kilasan setiap peristiwa layaknya sebuah adegan lama, ikuti jalan putih yang menyala terang tersorot sang rembulan. Sembari terombang-ambing dalam fana ataupun fakta. Kecewa terlihat sangat nyata saat takdir mulai bermain, guratan penuh pengharapan tepat dirasakan.

Rasanya kian berat dengan campur aduk menjadi satu, resahnya bukan main. Ribu tusukan pilih dipendam, satu bunga mekar pilih ditampakkan. Batangnya nampak kokoh, tapi akarnya kian goyah tak ada cengkraman.

Rasanya bagaikan bunga yang sambangi mimpinya, entah sebuah peringatan atau hanya sekedar cerita bualan. Layaknya kuncup bunga tak sempurna di waktu semi, terdiam tak beranjak pilih sembunyikan diri. Waktunya mekar, setelah ini hanya akan muncul sebuah cerita baru, dimana semua yang dilalui adalah kilasan belaka. Buka matanya yang hitam legam, biarkan dongengnya terhenti dalam pikiran liar.

Ketakutan adalah picunya, penyesalan adalah jalannya, dan pengampunan adalah kuncinya. Berputar-putar dalam satu lingkaran setan, gundah gulana dirasakan ingin rasakan akhir hidup namun tak sampai. Pilih kembali merintih dalam alam bawah sadar hingga rampung.

***

Suasana pagi ini berembun, benar-benar matahari enggan tampakkan cahayanya. Bahkan dirasa hewan di kaki bukit akan memilih untuk menggulung dirinya pada hangatnya jerami yang menumpuk. Musim dingin telah tiba, peluklah sebuah mantel yang disediakan.

Gemerisik langkah kaki kian mendekat, rungunya tangkap sosok yang tengah berlari. Gesekan kain dengan angin layaknya sebuah irama yang paling sering didengar. Namun sayang hanyalah gelap yang menyapa, kedua matanya sangatlah berat untuk sekedar dibuka. Seolah sebuah lem perekat milik sang raja telah sengaja dioleskan pada kelopak matanya untuk ditutupi indahnya dunia untuk selamanya.

“Huh, dingin sekali diluar.” Lagi dan lagi, rungunya kini tangkap suara yang tak asing. Begitu dekat dengan dirinya, rasanya ingin menggapai namun beribu sayang hanya gerakan jari pelan yang dapat ia lakukan. Ingin merintih meminta tolong saat rasakan dadanya kian menyesakkan entah ingin tumpahkan tangis namun tak kunjung sampai.

Lama dirinya seolah berjuang untuk sekedar membuka matanya hingga secercah cahaya putih mulai masuk dalam netranya. Kini sesuaikan cahaya agar tak terlalu menyilaukan, berat matanya saat dibuka dengan tubuh yang melemah. Kerjapkan matanya beberapa kali hingga perlahan semuanya mulai jelas. Tunggu, dirinya setengah sadar namun hafal dimana tempatnya.

“Batara, kau sudah bangun?” Tunggu sekali lagi, biarkan dirinya mencerna. Dalam bilik ini dirinya rebahkan tubuh yang terasa sedikit kaku. Sedikit lama dirinya hanya tatap langit-langit bilik kayu yang kokoh.

“Pangeran Owen?” Gumaman lirih darinya dari bibir yang biasa merah itu menjadi pucat kering tanpa menjawab pertanyaan pertama yang masuk ke rungunya, satu nama yang selalu hadir di kepalanya. Nampak linglung kala wajah seseorang yang teramat ia kenali tatap dirinya lamat-lamat dari atas dengan wajah polosnya.

“Aku disini. Apakah ada yang sakit?” Tidak, bagaimana bisa terjadi? Tiap adegannya nyata bahkan perpindahannya rasa berat nan sempurna, namun sosok yang dipikirkannya dikhawatirkannya kini memandang dirinya kembali khawatir sembari tetap tunjukkan pandangannya yang polos layaknya seorang anak kecil

“Minumlah dahulu.” Perlahan Owen bantu Batara untuk sedikit menegakkan tubuhnya, sedikit pening dirasakan saat setengah dirinya tak lagi tapak pada hangatnya selimut yang membalut. Perlahan-lahan cairan bening itu basuh kekeringan dalam kerongkongannya, sedikit susah payah kala menelan.

Dibaringkannya kembali tubuh kecil yang tak jauh berbeda dari tubuhnya itu, perlahan dengan penuh kehati-hatian Owen benahi kembali selimut untuk kehangatan sang teman, “aku akan memanggil tabib.”

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang