13. TULISAN KETIGA BELAS

501 51 0
                                    

Sebenarnya Owen bingung, haruskah ia harus berdandan dengan pakaian mewahnya hanya untuk melihat festival lentera di tengah kota yang bahkan dirinya akan merasa kecil berada dalam ratusan atau bahkan ribuan orang-orang disana.

Parasnya yang ayu dengan bibir kecil yang dipoles tipis membuat kesan manis bak anak kucing polos. Pakaian khas keluarga kerajaan kian mencolok dipakai pada tubuh mungilnya. Namun ia terkesan pada penampilannya hari ini.

"Owen, apa kau sudah siap?" Dilihatnya Yasa menghampirinya dengan jubah jubah yang tak kalah indah. Senyumnya timbul hingga pipi chubby itu terlihat dikala menatap adik iparnya sangat ayu di waktu itu.

"Kenapa kau sangat indah dengan polesan seperti itu? Keturunan bangsawan memang tak pernah gagal." Puji Yasa benar-benar mengagumi sang pangeran kecil.

"Kau juga sangat manis kakak ipar." Betapa beruntungnya Abishekaa mendapatkan Yasa pikir Owen di kala itu. Meskipun Yasa bukan dari kalangan bangsawan, namun Yasa adalah dari kaum keluarga terpelajar. Diberkati dengan perpaduan wajah manis dan tampan menjadi satu.

"Ayo, semuanya sudah menunggu untuk berangkat." Langkah keduanya beriringan, ada degup jantung kecil ketika nan jauh disana membayangkan bagaiman reaksi Jagadhita ketika melihat penampilannya?

***

Kereta dari istana telah tiba di tengah kota. Dikawal dengan panglima terhebat di seluruh negeri, dengan perisai ksatria Tanah Cayapata. Dipimpin oleh calon penguasa negeri Tanah Cayapata di masa depan.

Owen pertama kali turun dari keretanya, memandang takjub pada lautan manusia dengan cahaya yang begitu megah. Teringat ketika dirinya dahulu hanya dapat memandang ribuan lentera yang diterbangkan nan jauh dari perbatasan. Atau sekedar menghampiri sungai untuk mendapatkan setidaknya satu lentera untuk disimpan.

Mengikuti langkah Abishekaa dan Yasa di depannya, matanya tak hentinya menatap kesana kemari dengan sesekali mulutnya akan membentuk huruf o sebagai bentuk kekaguman. Dilihatnya para gadis-gadis cantik berkumpul, banyaknya orang-orang memasuki kedai hanya untuk sekedar menikmati kudapan atau bahkan sejenak menghilangkan penat dengan minum arak.

"Apakah kau menikmatinya?" Tanpa ia sadari, Jagadhita tengah berdiri disampingnya. Menatap lurus ke depan seolah tetap waspada dengan apapun yang akan terjadi.

"Huum, sangat menikmati." Senyum simpul Jagadhita terbitkan melihat si kecil terlihat bahagia. Sejauh mata memandang lautan manusia terlihat dengan membawa lentera di masing-masing tangannya. Penjual lentera rupanya sempat kewalahan menghadapi para pembelinya.

"Panglima, apakah kita bisa menerbangkan lentera juga nantinya?" Pandangan yang pertama Owen lihat ketika berfokus pada Jagadhita adalah rahangnya yang nampak sangat tegas. Perbedaan tinggi badannya mengharuskan Owen harus menatap Jagadhita dari bawah.

"Bisa, kau mau menerbangkan lentera?" Anggukan cepat Owen berikan, benar-benar indah hanya dengan membayangkannya saja.

Dibelakang keduanya Helena menarik nafas nya, gadis dengan gaun yang teramat indah itu begitu gusar melihat kedua orang di depannya yang nampak bahagia. Rasa sedih mendominasi dirinya tatkala masih teringat jelas bahwa Jagadhita menolaknya mentah-mentah dan memilih untuk bersandiwara dengan pangeran Tanah Cayapata.

Dalam sepekan ini Helena selalu berfikir apa yang kurang darinya? Wajah ayu, sikap layaknya bangsawan terhormat, terpelajar, bahkan tak sedikit para pria yang ingin meminangnya. Lantas mengapa Jagadhita hanya menoleh pada si pangeran berotak udang itu?

Pasukan kerajaan berhenti pada lapangan luas yang menjadi tempat diterbangkannya para lentera secara bersamaan. Lampu lentera yang begitu indah, tak bosan-bosan rasanya Owen akan mengagumi hal itu.

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang