27. TULISAN KEDUA PULUH TUJUH

470 60 0
                                    

Jikalau dalam bayangan hitam yang mengikuti setiap langkah, jikalau air mata yang menetes pada sebuah kertas buram, atau jikalau pundak begitu terasa berat di sebelah kirinya menopang sebuah beban tak terlihat dari ekspektasi manusia.

Seminggu telah dilalui, beberapa kali pula satu dua buah bandit dengan sebuah pisau di tangannya mulai memasuki kawasan desa selama 3 hari berturut-turut. Entahlah kemungkinan yang paling besar bahwa desa paling selatan itu telah dijaga olah seorang panglima tersohor nampaknya tak cukup membuat para bandit ketakutan.

Di bawah terangnya sebuah lampu obor geni yang telah padam dan sorot sang indurasmi seorang laki-laki dengan perawakan tinggi itu tengah menatap ke segala penjuru desa dari sebuah bukit kecil tak jauh dari perbatasan.

Bukan bukit yang sama dengan yang didatangi oleh Owen, hanya bukit gersang dengan debu yang berterbangan jika dilalui.

“Menurutmu, apakah kita perlu mengatur strategi baru?” Seruan dari belakangnya tak mampu menghentikan mata rusanya yang menyalak nyalang. Menghembuskan nafas dan mendapati sang panglima yang telah berdiri pada samping tubuhnya.

“Aku tak yakin. Para bandit pasti telah mengetahui jalur lain masuk desa yang bahkan tak kita ketahui. Kemampuan lari mereka begitu cepat.” Jagadhita menganggukkan kepalanya beberapa kali, setuju bahwa desa kecil ini nyatanya masih menjadi sebuah pertanyaan besar untuk pendatang baru sepertinya.

“Mengapa kau datang kemari?” Pertanyaan dari Mada membuat Jagadhita terkekeh pelan, menepuk sebelah pundak sang ksatria, “apa aku tak boleh melihat temanku?” jelas kernyitan dahi yang tak biasa Mada berikan.

Jika berbicara dengan sebuah telepati, maka Jagadhita dan Mada adalah seorang handal. Berbicara lewat mata tanpa sepatah kata yang keluar, membaca pikiran menyalurkan sebuah pemberitahuan rahasia.

Pandangan keduanya terputus seolah tak peduli. Bersikap santai seolah tak ada pekerjaan yang harus mereka lakukan. Lantas terkekeh pelan dibarengi dengan geplakan belakang kepala Jagadhita oleh Mada. Namun hal tersebut tak membuat sang panglima merasa tersinggung atau marah, kebiasaan Mada jika hal lucu terjadi pada dirinya ataupun dengan Abishekaa. Sungguh tak ada rasa takut.

“Bukankah Yang Mulia terlalu kejam untukku hingga mengirimku kesini? Seharusnya aku sedang menikmati semangkuk mie kuah dengan telur diatasnya. Aku rindu pada mie buatan juru masak istana.” Membayangkannya saja membuat perut Mada berteriak meronta-ronta. Membayangkan betapa hangat dan gurih dari kuah yang diseruput pelan, mie tipis yang tak putus-putus membuat kenikmatannya menjadi dua kali lipat.

“Kau tak tau? Owen membawa mie instan 2 kardus dalam perjalanannya kemari.” Mada melotot tak percaya, bagaimana bisa?

“Kau sedang menipuku?” Jagadhita mengedikkan kedua bahunya tak acuh, kembali menatap di hadapannya dengan lalu lalang pengawal kerajaan yang berjaga disekitar desa.

“Panca dan beberapa pengawal lainnya telah memakannya beberapa hari lalu. Mungkin masih ada sisa.” Mada meneguk ludahnya kasar, bukan waktunya. Namun siapa yang akan menolak sebuah mie kuah di saat-saat seperti ini?

“Tapi jika kau ingin tambah telur, kau harus membeli pada warga desa. Dan tentunya tidak sekarang Mada, semua orang tengah tertidur.” Mada merosotkan kedua bahunya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa mie instan yang diproduksi oleh istana itu masih tersedia hingga esok sampai dirinya dapat merasakannya langsung.

“Mengapa tak ada yang memberitahuku?”

“Kau tak bertanya, Mada. Ku kira kau puasa makan mie.”

Rungu keduanya menangkap tajam, gemerusuk langkah kaki menuruni bukit. Namun keduanya tak berkutik seolah tak ingin mencari lebih jauh. Dirasa hening beberapa saat hingga Mada melontarkan pertanyaannya.

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang