Masih ramai balai desa yang tiba-tiba digemparkan oleh sebuah berita panas tentang huru-hara susu beracun. Kalang kabut dirasakan oleh semua penghuni desa, namun tak separah pada hari pertama. Di hari kedua ini, hanya sibuk mencari sebuah obat penawar lainnya.
Mengandalkan bantuan dari kedua tabib tak berbuah banyak, rasanya tak seimbang dengan jumlah korban yang membeludak. Ditambah dengan peralatan medis hingga obat-obatan yang sederhana dan terbatas. Harapannya tinggalah bantuan dari sang penguasa Tanah Cayapata.
Tak dapat memejamkan mata untuk sekejap, kini disibukkan dengan membantu kedua tabibnya untuk meracik dan memberikan ramuan penawar untuk para anak-anak. Bahkan rasanya untuk menelan segenggam nasi tak dapat ia lakukan, melihat bagaimana wajah letih para orang tua hingga tabib yang bertugas.
Tak rela rasanya si kecil untuk meninggalkan balai ini, membiarkan tubuhnya bekerja lebih dari proporsinya. Beberapa kali mengusap peluh yang luruh dari kening cantiknya. Pakaiannya pun tak tergantikan sejak kemarin pagi, tak ada alas kaki yang terpasang untuk melindungi kedua kakinya.
“Makanlah.” Netra kucing itu beralih pada sosok atma yang menatapnya dengan datar, ganti menatap pada sebuah roti yang disodorkan, mengalihkan kembali pandangannya dirasa sudah mengetahui oknum yang akan mengganggu kesibukannya.
“Bisakah kau menyuapiku? Aku harus memberikan beberapa obat untuk yang lainnya juga.” Tanpa menghentikan kegiatannya untuk menyuapkan sesendok obat-obatan pada mulut sang pasien, sedikit lagaknya Owen tersenyum tipis.
Beberapa saat terdiam tak ada respon dari lawan bicaranya, makan dengan setia Owen menunggunya sembari memeriksa suhu tubuh pasiennya. Tak lama kemudian, satu potongan kecil roti berada tepat di depan mulut Owen. Dimasukkannya potongan roti itu pada mulut Owen, dilahap pelan-pelan sebagai pengganjal rasa lapar.
Dirasa dirinya sudah cukup untuk memeriksa salah satu anak, Owen mengalihkan pandangan sepenuhnya pada bocah yang sedari tadi berdiri disampingnya untuk menyuapkan sebuah roti kepadanya.
“Kau sudah makan?” Pertanyaan Owen dijawab oleh sebuah anggukan, mengusak rambut si bocah pelan.
“Apakah mereka semua akan baik-baik saja?” Troya, si bocah yang baru saja menampakkan batang hidungnya hari ini nampak begitu santai. Namun, siapa sangka jika pertanyaan pertamanya sungguh berarti.
“Aku harap begitu, Troya.” Pandangannya mengedar pada seisi balai yang tak seberapa itu, melihat betapa tak berdayanya anak-anak yang seharusnya saat ini mereka tengah menikmati permainan yang mereka mainkan bukan terbujur lemas merasakan rasa sakit yang teramat.
“Suamimu pergi ke jembatan untuk menjemput rombongan kerajaan.” Owen tersenyum dalam matanya, ah ia sampai lupa presensi sang panglimanya. Betapa jahatnya dirimu, Owen.
“Kau menemuinya?”
“Hmm, dia yang menyuruhku untuk memberikan roti.” Hangat rasanya, ingin luruh dan menangis. Dirinya lelah, sangat. Tapi kekhawatirannya lebih dari apapun. Beberapa kali tabib atau bahkan suaminya sendiri menyuruhnya untuk sekedar istirahat sejenak, namun siapa yang dapat menandingi keteguhan Owen?
“Kalian bertengkar?” Berjongkoklah Owen di hadapan Troya sembari memegang kedua bahu sempit yang lebih muda, menatap wajah mungil yang selalu menatap datar pada sekelilingnya.
“Tidak, kami hanya sama-sama sibuk. Seperti tak ada waktu untuk berbincang berdua.” Nampak sekali gurat wajah kelelahan Owen, mata yang tak sebening biasanya dan bibir yang tak semerah buah plumnya.
Tanpa pernah Owen duga, satu gerakan penuh kelembutan pada kelopak matanya membuat netra itu terpejam. Jari-jari kecil milik Troya menyalurkan rasa tenang saat bersentuhan dengan kelopak matanya, “tidurlah, walau hanya satu jam. Aku akan menjaga mereka untukmu.”
![](https://img.wattpad.com/cover/355523875-288-k74812.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HALSTEAD; JAYWON
FanfikceSang panglima tempur dengan kemenangan selalu berada ditangannya, bak sang garuda mencengkeram mangsanya. Dikaruniai wajah nan elok, si panjang akal anak emas dari penguasa tanah Cayapata. Disandingkan dengan si kecil hati manis berotak udang milik...