26. CORETAN KEDUA PULUH ENAM

493 56 0
                                    

Lembah hijau yang sedikitnya terjal itu telah menjadi saksi bahwa untuk ke sekian kalinya Owen menapakkan kakinya pada puncak lembah. Menarik nafasnya dalam-dalam, memejamkan netra kucing mencoba menghirup ambu alam yang begitu manis.

Tak peduli pada Panca yang terengah-engah setelah mengikuti langkah kaki kecil milik Owen. Membiarkan Panca setidaknya menyelonjorkan kakinya barang sejenak pada samping tubuh Owen.

Tak ada rasa gamang saat melihat ke bawah, dimana rumah-rumah warga desa nampak lebih jelas nan berpetak-petak. Sebenarnya tak banyak yang berubah semenjak ia dipaksa untuk meninggalkan desa kecil ini. Masih sama indahnya, dan masih sama bahayanya.

Begitu dipuja eloknya surga dunia, dibawah pohon beringin yang cukup membuat Owen maupun Panca terbebas dari teriknya sang mentari. Meskipun siang ini tak begitu panas karena musim semi telah tiba.

"Kau berdiri seperti itu, rasanya seperti seorang pujangga." Omong kosong macam apa ini hingga membuat Panca tertawa renyah. Sedangkan yang dibicarakan hanya mengedikkan bahunya tak peduli.

"Harusnya aku disini bersama Jagadhita." Decihan penuh ejekan itu mulai berani Panca berikan pada yang lebih tinggi derajatnya. Merasa dirinya begitu sia-sia setelah kesana kemari menemaninya.

"Haruskah ku panggil sang panglima, Pangeran Owen?" Yang dipanggil tertawa kecil, melihat bagaimana raut wajah jengkel Panca yang dibuat-buat. Dalam sekejap, keduanya dapat berbincang akrab saling menyindir lebih tepatnya.

Mendudukkan dirinya di samping yang lebih muda setahun darinya itu, "tidak perlu. Kau sudah cukup lebih baik disini." Kalimat Owen mampu membuat senyum tipis terhias pada wajah tampan milik Panca.

"Apakah kalian ingin turun bersamaku?" Suara dari arah belakang membuat keduanya terkejut, dengan cekatan Panca berdiri dan mengeluarkan sebilah pedangnya memasang kuda-kuda dihadapan sang pangeran.

Dilihatnya seorang bocah laki-laki menatap keduanya dengan tatapan datar dengan sebuah buku tulis digenggamannya. Seolah tak terkejut dengan acungan pedang milik Panca ataupun respon aneh dari dari keduanya.

"Siapa kau?" Panca masih setia dalam posisinya, acungan pedangnya masih terarah pada sosok di depannya.

"Hanya seorang anak laki-laki biasa?" Owen dan Panca bersitatap, entah bertelepati lewat apa. Yang tergambar jelas hanya kerutan pada dahi keduanya, apakah itu sebuah pertanyaan?

Namun di tengah keterkejutannya beberapa saat lalu nyatanya ketiganya benar-benar menuruni lembah bersama. Pulang menuju desa di waktu sore yang akan datang. Hanya ada keheningan dalam perjalanannya, hingga ketiganya memutuskan untuk berhenti pada depan balai desa yang masih nampak sebuah rapat diselenggarakan.

"Dimana rumahmu?" Owen menatap anak laki-laki yang tengah mengedarkan pandangannya pada seisi balai di dalam sana.

"Apakah kalian berdua salah satu rombongan dari kerajaan?" Bukan pertanyaan balik yang Owen inginkan, namun jawaban. Tapi sayang rupanya anak laki-laki berumur 7 tahun itu lebih penasaran dengan keberadaannya disini.

"Ya, itu kami. Ada masalah?" Si empu menggelengkan kepalanya, tanda tak ada masalah dengan kedatangan rombongan kerajaan.

"Aku hanya bertanya, pakaian kalian sangat mencolok daripada pakaian warga disini. Siapakah sosok yang berada di tengah balai itu?" Owen mengarahkan pandangannya pada telunjuk sang anak, mengarah pada sosok yang duduk dengan tegapnya berada di depan tengah balai, balutan jubah hitam yang nampak cocok dengan proporsi tubuhnya.

"Dia, Panglima Jagadhita." Ada senyum yang tersirat dalam setiap ucapan Owen ketika mengucapkan nama sang suami. Rasa bangga menyelimutinya, bahwa atma hebat itu adalah takdirnya.

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang