16. CORETAN KEENAM BELAS

523 62 0
                                    

"Bagaimana seorang pangeran bisa selemah itu, Owen?" Rungunya dengan sengaja mendengar suara lembut namun terdengar menyebalkan.

"Gelar pangeranmu seperti tidak berguna sama sekali, kembalilah ke perbatasan layaknya kau masih kecil dahulu dan hidup dengan bebas layaknya hewan liar. Bukankah itu jauh lebih baik daripada disini?" Masih tak bereaksi apapun, Owen masih menatap datar pada sosok di depannya.

"Jika kau tak pintar harusnya kau tahu diri Owen. Kau adalah iblis kecil yang berpura-pura polos untuk menutupi kelicikanmu. Sebaik dan sesempurna Jagadhita tak pantas untukmu, bahkan hanya seujung kuku pun kau tak akan bisa menyamai Jagadhita. Kau hanya hama di kerajaan ini, aku sangat mengasihani paman mengapa memiliki putra sepertimu." Helena menyandarkan punggungnya pada dinding lorong sepi kala itu. Memainkan kuku-kukunya yang tertata rapi nan cantik. Memandang remeh ke arah Owen yang berada di depannya.

"Bukankah kau sangat lancang untuk sekedar mengasihi penguasa negeri, Putri?" Helena terkekeh pelan, merasa konyol akan ucapan Owen yang terdengar aneh di telinganya.

"Tau apa kau soal tata krama, Owen? Ingatlah beberapa kekacauan yang kau lakukan semenjak kembali dari pengasinganmu itu. Kau tak memiliki tata krama sama sekali." Kalimat terakhir ditekankan Helena dengan suara merendah. Memberikan pengertian sejelas mungkin agar Owen mampu menyerap kumpulan fakta yang dibeberkan.

"Apakah dengan kau melakukan semua ini kepadaku kau merasa tidak sedang merendahkan dirimu sendiri? Bagaimana seorang putri yang dikenal beretika, cantik, dan pintar berperilaku layaknya sampah hanya karena seorang laki-laki? Kau menurunkan kualitas dirimu, Helena."

"Fakta bahwa kau membenciku karena Jagadhita lebih memilih diriku saja sudah menurunkan 30% dari kesempurnaanmu. Lalu dengan kau berucap rendahan seperti itu kira-kira masih berapa persen kesempurnaanmu saat ini?" Owen pantang takut, dirinya laki-laki tak akan bermain tangan atau bertindak lebih jauh.

"Kau tak pantas berbicara seperti itu, Owen."

"Lalu, apakah kau pantas berbicara seperti itu pula Putri?" Biar Owen ingatkan dengan gelar Putri yang disandang Helena. Bahwa kedudukannya masih bangsawan yang harus menjaga etika dimanapun tempatnya berada.

"KAU TAK PANTAS BERSANDING DENGAN JAGADHITA, OWEN." Penekanan dan teriakan itu Helena berikan, berharap Owen dapat sadar dari mimpinya untuk menggapai Jagadhita.

"Apakah dirimu merasa pantas untuk Jagadhita?" Suara pelan dan sarat akan keputus asaan itu Owen haturkan. Harus apalagi dirinya membela diri.

"Ya, aku pantas. Sebaik dan sesempurna Jagadhita hanya akan bersanding dengan orang sesempurna diriku juga, Owen." Tawa remeh Helena diberikan, sedikit merinding Owen kala itu. Ibarat orang gila, Owen melihat itu dalam tubuh Helena.

"Helena." Panggilan dari Owen menghentikan raut wajah Helena yang menatapnya datar. Tak ada senyum manis di wajahnya, tak ada mata yang menatap lembut nan cantik milik Helena. Tatapannya begitu datar dan menajam, sedikit membuat Owen bergidik ngeri.

"Sadarlah, ini bukan tempatmu."

"Owen, apakah kau pikir aku gila? Sayangnya aku tidak gila. Ini adalah Helena yang sama, memasang topeng penuh kepalsuan untuk kesempurnaan diri. Dan kau melihatnya pertama kali, bagaimana menurutmu?" Tubuhnya kembali menyandar pada dinding. Kali ini Owen murka, sangat murka sampai merasa tubuhnya mendidih. Oh ayolah, dirinya tidak akan bermain tangan apalagi dengan seorang wanita tetapi melihat wajah mengesalkan Helena membuat Owen ingin mencakar wajah itu.

"Helena, sepertinya kau salah menilai Jagadhita." Satu kalimat mampu membuat raut penuh tanya Helena tercipta. Apa yang ia tak ketahui tentang orang yang dicintainya?

"Kau mengibaratkan Jagadhita adalah seorang malaikat dan aku iblis yang tak akan bisa menyatu bukan? Tapi kau salah besar. Kau harus menggunakan akal pintarmu bahwa Jagadhita adalah seorang malaikat yang diturunkan menjadi iblis. Iblis di medan perang dengan ratusan atau bahkan ribuan nyawa merenggang karenanya tanpa rasa ampun. Jagadhita tak akan segan untuk membunuhmu, atau bahkan membunuhku suatu hari nanti."

"Kau harusnya paham apa yang ingin ku katakan. Seperti raja iblis Lucifer yang memiliki istri seperti iblis betina Lilith. Bukankah kita berdua perpaduan yang indah, Helena?"

***

Permintaan sang panglima dikabulkan dengan senang hati oleh penguasa Tanah Cayapata. Tak sabar menjadikannya seorang menantu, siapa yang tak ingin menjadikan Jagadhita menantu untuk keluarganya? Tidak ada, semua menginginkannya.

Owen berjongkok selepas kepergian Helena, menatap lantai kayu itu dengan tatapan kosong. Tak ada air mata dan isak tangis, ia hanya berdiam diri mencoba meredam emosi yang menggebu-gebu.

Owen menghela nafasnya, lantas berdiri. Ia hanya ingin mencari udara segar tadi, namun nampaknya Tuhan tak berkehendak. Helena datang tanpa salam dan pergi meninggalkan luka dan kenyataan pahit.

"Pangeran Owen?" Suara itu, suara yang selalu Owen ingin dengarkan. Suara yang mampu menimbulkan senyum manisnya. Dilihatnya Jagadhita tengah berada di depannya, tak terdengar suara derap langkahnya kala itu. Apakah karena Owen sedang sibuk dengan pikirannya sendiri?

"Panglima." Senyum kecil Owen berikan kepada calon suaminya. Seperti biasanya, Jagadhita nampak gagah dengan pakaian ksatrianya. Seolah akan melindungi Owen dari segala sisi dan marabahaya.

"Apa yang kau lakukan disini?"

"Tidak ada. Aku hanya sedang mencari angin saja. Ya, mencari angin." Jawabannya terdengar tak yakin, namun sorot matanya begitu redup dan tampak kosong. Owen dapat mudah terlihat jelas ketika sedang tak baik-baik saja.

"Kau tidak mau berbagi denganku?" Owen menggelengkan kepalanya cepat dan terburu-buru sampai Jagadhita berfikir kepala itu bisa lepas dari tempatnya. Maka dengan satu gerakan, tangan besar Jagadhita telah berada pada kedua pipi tembam milik si kecil.

Menghentikan laju kepalanya dan diarahkan untuk fokus kepada dirinya. Diusapnya pelan nan halus pipi bersih Owen, dan Owen menyukainya. Menyukai apapun yang Jagadhita lakukan padanya, menyamankan diri dengan mengusak pelan ke telapak tangan besar Jagadhita.

"Kau tau? Tak akan ada orang yang bisa menyakitimu Owen. Karena aku akan menjadi garda terdepan untukmu." Ucapannya layaknya bius membuat si kecil terlena, siapa yang akan meragukan Jagadhita dengan kekuatannya. Bahkan sang raja secara terang-terangan mengakuinya. Lantas apa yang Owen khawatirkan sekarang?

"Apa kau yakin?" Suara Owen tercekat mencari celah untuk benar-benar mempercayai Jagadhita. Harusnya tak ada rasa bimbang di hatinya, namun kenapa Helena selalu terbayang-bayang di kepalanya?

"Kau dapat mempercayaiku, Pangeran." Sorot matanya menyiratkan keyakinan besar, seolah hidup dan matinya diserahkan pada pangeran kecilnya. Dunia keduanya saat ini berputar dalam dimensi yang sama. Dimensi yang mereka berdua miliki, tak ada seorangpun yang dapat menembusnya bahkan sang raja sekalipun. Camkan itu.

"Bolehkah kau berikan aku pelukanmu, Panglima? Seperti pelukan kala senja itu." Direngkuhnya tubuh kecil itu, Owen dedikasikan bahwa pelukan Jagadhita adalah pelukan ternyamannya bukan pelukan orang tuanya. Pelukan kedua mereka di tengah lorong antara dunia luar dengan jeratannya.

***

"Aku tak tau jika bunga hyacinth ungu tumbuh dalam kerajaan kemakmuran. Siapa yang menanamnya? Bunga kebencian dan perasaan iri hati." Batara menatap datar pada bunga yang tertata rapi di pot kaca.

PRANGG

Dengan jari telunjuknya, pot kaca itu telah hancur berkeping-keping. Bunga yang malang, dan indahnya bayangan Batara pada malam itu.

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang