Owen ulurkan tangan, meraih salah satu anggota tubuh lawan disamping dalam keheningan disertai angin yang berdesir lambat. Dilihat Batara dalam cengkeraman netra kucing miliknya, belum ada kesempatan untuk berbincang sejenak semenjak pengaduan hari itu.
Keduanya membutuhkan waktu lebih banyak, faktanya tak semudah itu. Harus ada pertimbangan karena keduanya dirugikan. Mencari jalan apa yang harus mereka lakukan, setidaknya untuk bertahan hidup lebih lama.
“Bolehkah aku duduk disebelahmu?” Owen berikan senyum simpulnya, semuanya harus diselesaikan saat ini juga. Batara berikan anggukkan, sedikit menggeser tubuhnya ke samping agar Owen mendapatkan tempat yang nyaman di bukit kecil ini.
“Maaf untuk baru menemuimu, Batara.” Tak ada jawaban ataupun sahutan dari lawan bicaranya, Owen helakan nafasnya sedikit sulit untuk berbicara dalam kondisi yang seperti ini.
“Kau tau aku sangat kagum kepadamu. Semenjak pertama kali kita bertemu, kau sangat keren dengan otak pintarmu. Terimakasih telah menyapaku waktu itu, dan terimakasih atas semua pelajaran berharga yang bisa ku dapat darimu. Harusnya kau membenciku bukan? Orang tuamu pergi karena aku.” Owen mainkan jari-jari tangannya pada rumput yang tak lagi hijau. Mendistraksi pikirannya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja selama Batara memaafkannya.
“Kau tak ingin mengatakan sesuatu padaku?” Penuh harap Owen tanyakan pada Batara yang semenjak kedatangannya hanya diam, netranya masih mengunci hamparan rumput di depannya tanpa menatap si kecil.
“Aku sudah mengatakan semuanya waktu itu.” Enam kalimat itu membuat Owen mengangguk-anggukkan kepalanya mencoba mengerti. Dirinya hanya bisa menunggu Batara, menumpukan kepalanya pada lengan yang ditumpu kedua lututnya.
Owen rasakan banyak yang hilang, terciptanya ruang kosong untuk keduanya. Tak ada kata pujian yang keduanya saling haturkan untuk satu sama lain, tak ada senyum secerah mentari milik Batara, tak ada tatapan penasaran milik Owen atas setiap ucapan Batara. Saat ini keduanya memiliki batas, batas yang dibangun setinggi rupa agar tak salah dalam melangkah.
Tanpa keduanya sadari, dalam diam keduanya berbagi rasa empati, menghilangkan segala pikiran yang mengusik satu sama lain. Batara inginkan cerita romansa yang sebelumnya tercipta sebagai penebusan rasa sakit, melihat bagaimana Owen tersenyum malu saat Jagadhita berikan perhatian tipis-tipis. Sedangkan Owen inginkan sebuah cerita manis tentang kehidupan Batara, menebus semua kehidupan pait yang dijalaninya.
Hembusan anginnya menerbangkan surau Batara yang kian panjang, Owen tatap dari samping. Bataranya begitu indah, siapa kelak laki-laki atau perempuan yang akan meminangnya? Betapa beruntungnya memiliki kekasih sempurna seperti Batara. Membayangkan bagaimana kedua orang tua Batara tersenyum dari surganya, putranya tumbuh dengan begitu apik.
“Jangan pernah menatapku seperti itu, aku tak akan bisa bersaing dengan Jagadhita.” Kali ini Batara perlihatkan wajah rupawannya, menatap pada netra kucing Owen. Senyum kecil terbit dari bilah bibir tipis Owen, kali ini Batara juga tunjukkan senyum cerah miliknya.
“Kau ingin berpetualang bersamaku?”
***
Satu jam yang lalu ia putuskan untuk membuka lembaran buram di hadapannya, Jagadhita masih setia pada tempatnya. Menatap kertas buram yang menampilkan sebuah peta dan strategi di dalamnya. Dihadapannya Mada melakukan hal yang sama, otaknya berfikir keras apa langkah selanjutnya yang dapat mereka ambil.
“Bukankah ini terlalu mustahil, panglima? Jika diperhatikan, setiap celah desa sudah kita berikan masing-masing penjagaan. Bagaimana bisa hampir setiap hari bandit akan datang?” Jagadhita hembuskan nafasnya, struktur desa paling selatan ini nyatanya sangat rumit terlepas dari luasnya yang tak begitu besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALSTEAD; JAYWON
FanfictionSang panglima tempur dengan kemenangan selalu berada ditangannya, bak sang garuda mencengkeram mangsanya. Dikaruniai wajah nan elok, si panjang akal anak emas dari penguasa tanah Cayapata. Disandingkan dengan si kecil hati manis berotak udang milik...