Halaman ketiga puluh empat, penuh kejadian tak terduga. Ceritanya sangat sulit, tulisannya pun terlihat berantakan. Hanya tertuang dalam perasaan belaka. Sang penulis gigit bibirnya dalam-dalam, tak yakin dengan apa yang ditulis dalam bukunya.
Diceritakan harsa telah selimuti Tanah Cayapata di kala itu, nikmati euforia kebahagiaan tak tertandingi. Tanah Cayapata baru saja diagungkan kembali atas kelahiran putra dari putra mahkota. Huru-hara kabar yang merambat begitu cepat, sebarkan informasi valid bahwa calon penerus Tanah Cayapata telah lahir.
“Kirim kabar pada Jagadhita dan pasukannya. Owen pasti sangat senang ketika mendengarnya.” Senyum elok ibu ratu tak menghilang semenjak dapati kabar cucu dan menantunya yang jauh lebih baik. Ingin berbagi kebahagiaan pada si putra bungsu nan jauh diujung desa.
Entah siapa namanya belum diputuskan. Lihat pada betapa merahnya si bayi, tanpa cacat atau cela, bersih, dan suci. Terlihat gambaran sekilas wajah Abishekaa lebih mendominasi. Tidur terlelap tanpa gangguan disekelilingnya, nikmati dunia baru yang berikan kebahagiaan pertama.
Jangan tanyakan bagaimana bahagianya seorang Abishekaa. Rasanya dirinya ingin sekedar menulis di lembaran buku kunonya, diabadikan dalam tulisan sepanjang sejarah. Dirasa keluarganya telah lengkap, meskipun Owen tak ada disana namun Abishekaa rasakan kehadiran si kecil.
“Akan kau beri nama siapa putramu, Abishekaa?” Dirinya pilih tatap pada Yasa dengan senyum kecil dibibirnya, Yasa anggukkan kepalanya bahwa apapun keputusan Abishekaa maka akan ia terima.
“Saga Ryu. Tombak sejarah baru dan sebuah legenda yang akan tulis kisah dalam sebuah karya didasari pengetahuan, kebijaksanaan, dan kekuatan.”
***
Gemericik airnya membuat pria tampan dalam balutan jubah hitam itu terdiam. Luruhkan semua emosi dan pikiran yang bersarang, basuh tangan hingga wajahnya. Tetesannya jatuh dari hidung mancung dan rahang tegas sang panglima.
Dapati kabar bahwa besok putra mahkota akan kembali sambangi dirinya untuk sampaikan kabar bahagia beserta ajakan kembali pulang pada si kecil. Siapa yang tak bahagia saat dengar kabar kelahiran penerus Tanah Cayapata, penerus yang ditunggu-tunggu kehadirannya seiring dengan penobatan Abishekaa sebagai Raja dari Tanah Cayapata tak lama lagi.
Jagadhita dudukkan diri pada batu disebelahnya, usapkan sapu tangan berwarna hitam pada wajahnya. Hilangkan sisa air yang masih bersarang disana. Pandangannya jatuh pada tassel berwarna merah hitam yang tersemat apik dipinggangnya.
Tassel yang tak pernah ia lepas semenjak kala itu, bayang-bayang bagaimana Owen membuatkannya dengan susah payah. Bayang-bayang bagaimana pria cantik itu menatapnya untuk pertama kali. Mata kucing yang selalu Jagadhita agung-agungkan itu telah tertutup.
Rasakan nyeri pada dada saat pikirkan betapa dera sakit yang Owen rasakan sekarang. Matanya memanas seiring akan satu bulir air mata yang mengikuti. Kapan terakhir Jagadhita menangis pun dirinya tak tahu.
Pegang erat tasselnya, seolah berikan kekuatan pada si kecil. 5 bulan bersama nyatanya ciptakan simpul yang begitu eratnya. Salahnya terlalu sibuk sendiri, tak sempat ajak si kecil untuk sekedar berkeliling. Penyesalan selalu datang, harusnya saat ini ia dengarkan cerita-cerita si kecil sambil pandangi wajah cantiknya.
Usap wajahnya saat rungunya dengar langkah kaki yang mendekat. Panca datang dengan bertumpu pada tubuhnya, memohon pengampunan pada sang panglima karena telah lalai.
“Maafkan hamba telah lalai oleh perintahmu, panglima.” Panca tundukkan pandangannya, rasa bersalah juga kian gerogoti hatinya kala itu.
“Owen sangat nakal bukan?” Jagadhita malah ajukan pertanyaan, tatap presensi muridnya yang masih setia pada tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALSTEAD; JAYWON
Fiksi PenggemarSang panglima tempur dengan kemenangan selalu berada ditangannya, bak sang garuda mencengkeram mangsanya. Dikaruniai wajah nan elok, si panjang akal anak emas dari penguasa tanah Cayapata. Disandingkan dengan si kecil hati manis berotak udang milik...