Pantulan air danaunya begitu berkilau nan bercahaya. Indah pada pandangan rembulan yang tengah purnama itu. Tak berapa banyak sang rembulan malam ini dipuja karena nampak elok di pandang mata dari penduduk bumi.
Nabastala yang telah rimpuh itu menambah kesan magis nan romantis dalam setiap jejak. Layaknya syair yang termaktub dengan apik pada selembar kertas buram dengan tinta hitam diatasnya. Lampu malam yang temaram dan gemintangnya memenuhi sang nabastala ikut meramaikan malam penuh sukacita.
Kalbunya begitu membuncah saat melihat para dayang dan pengawal istana nampak sibuk kesana kemari. Pagelaran mengikat dua insan besok akan dilaksanakan. Pengikatan dua jiwa yang tak pernah dibayangkan seluruh rakyat Tanah Cayapata.
Owen berdiri pada jembatan pembatas, menunggu sang panglima dengan jantung yang berdebar dan gundah gulana dirasakannya pula. Ada rasa sesak antara kebahagian dan penyesalan dirasakan.
"Mengapa kau tak menggunakan mantelmu?" Akara atau bayangan yang nampak gagah tersorot pada samping dirinya. Bahkan hanya dengan melihat bayangannya membuat si kecil tersenyum manis.
Amaraloka memang seindah itu, menikmati setiap momentum bersama dengan yang terkasih adalah impian semua orang. Berbagi hangatnya kehidupan untuk dijelajahi bersama, mengukir cerita baru yang tak ada habisnya untuk dinikmati.
"Aku terlalu bersemangat, jadi aku lupa menggunakan mantelnya." Begitu daksanya dibalikkan, bertemulah dua netra yang saling bertolak belakang itu. Menciptakan sensasi baru namun tak asing untuk sekedar diselami.
Entah berapa banyak syair yang harus keduanya tulis nantinya, tetapi tak pernah sekalipun keduanya bosan-bosan untuk mengagumi satu sama lain. Andaikan sang pencipta menuliskan dalam sebuah buku cerita, maka ceritanya tak hanya sampai pada ratusan lembar belaka. Ditunggu pada halaman keseribu, atau bahkan keduaribu untuk menulis bagaimana kisah apik mereka berdua.
Bukan pedang atau panah dalam genggaman sang panglima, namun sebuah mantel berwarna coklat yang nampak hangat itu panglima pasangkan pada si kecil. Seolah memahami betul kecerobohan atma di depannya ini.
"Lain kali tak ada kata lupa, setidaknya kau harus tetap sehat Owen." Anggukan lucu itu diberikan Owen tanda paham pada ucapan sang panglima. Lesung pipinya yang begitu dalam muncul melihat betapa manisnya perlakuan Jagadhita padanya.
"Ada yang ingin kuberikan untukmu." Meraih satu tassel yang berada di pinggangnya tepat pada sebelah tassel miliknya, menyodorkan tassel berwarna biru tua yang terlihat apik dengan tambahan aksesoris lingkaran yang senada dengan perpaduan warna putih dan emas. Jangan lupakan aksesoris bunganya menambah kesan elegant didalamnya.
"Kenapa biru tua? Dan mengapa harus 3 lingkaran?" Pertanyaan sederhana dari Jagadhita sembari menerima tassel baru miliknya. Memandangi setiap lekuk tassel yang diyakini hasil dari tangan terampil milik Owen.
"Aku rasa biru tua lebih cocok untukmu. Tassel yang dulu terlihat terlalu mencolok, tetapi jika menggunakan warna biru tua aku rasa sangat serasi dengan pakaianmu yang serba gelap itu. Tak terlalu mencolok dan begitu elegan. Untuk ketiga lingkaran aku memberikan perumpamaan bahwa itu adalah kau, ayahmu, dan ibumu agar kau selalu teringat mereka kapanpun dan dimanapun setidaknya dapat mengobati rasa rindumu. Kebanggaan Tanah Cayapata." Penuturan singkat Owen membuat darah Jagadhita berdesir, entah berapa lama Owen mengorbankan waktunya kali ini untuk membuat tassel keduanya dengan makna dalam yang menyentuh hati tapi Jagadhita berjanji akan menjaganya bahkan untuk seumur hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALSTEAD; JAYWON
Fiksi PenggemarSang panglima tempur dengan kemenangan selalu berada ditangannya, bak sang garuda mencengkeram mangsanya. Dikaruniai wajah nan elok, si panjang akal anak emas dari penguasa tanah Cayapata. Disandingkan dengan si kecil hati manis berotak udang milik...