08. CORETAN KEDELAPAN

497 67 5
                                    

Dan malam itu hirap sudah sunyi
Lantunan melodi indah mengusik rembulan
Musik cinta mengalun lembut ditemani indurasmi
Izinkan aku untuk nikmati masa itu

Musik, secangkir teh dan dirimu
Bait puisi, sajak, juga diksi
Aku, kamu juga rasa semu
Tolong izinkan aku tuk menjadikannya nyata.

Dalam benakku tak pernah terbayang senyum semanis madu
Namun kau datang membawa melodi juga nektar segar bagi ku
Tolong izinkan ku untuk menjadi bait cinta mu
Kamu sebagai melodi ku, dan aku sebagai bait mu
Lalu kita akan menjadi sebuah syair semanis nektar segar

Owen bertepuk tangan riuh dikala Jagadhita menyelesaikan syairannya. Menatap kagum pada sosok di depannya, apa yang tidak Jagadhita bisa?

Keduanya berada di perpustakaan kerajaan, melihat Owen yang sedari tadi berjalan-jalan sendiri lantas Jagadhita membawa pangeran kecilnya untuk ikut serta.

"Kau suka?" Owen menganggukkan kepalanya ribut, memberi dua acungan jempol mungilnya.

"Indah sekali, siapa penulisnya?"

"Troya, dari Kota Arcus." Owen mengerutkan kedua alisnya, tak pernah mendengar nama atau bahkan kota itu. Apakah itu kota di Tanah Cayapata?

"Ada cerita di balik syair ini, kau mau mendengarnya?" Jagadhita mencari posisi ternyamannya, menatap Owen dengan berani tepat di netranya. Hanya 1 pikiran yang ada di kepala Owen, 'haruskah ia bersiap-siap juga untuk mendengarkan cerita Jagadhita?'

"Ya, aku mau." Jawaban yang dibuat tegas dengan badan yang ditegakkan, membuat senyum tipis Jagadhita terurai. Melihat bagaimana Owen terlihat bersungguh-sungguh kali ini.

"Dulu, terdapat anak berusia 7 tahun mengikuti sang kedua orang tuanya yang harus menjaga perbatasan. Perbatasan yang dipenuhi konflik dengan tanah sebelah, tak ada kata damai di dalamnya. Setiap hari selalu terdengar setidaknya 1 erangan kematian dari warganya." Owen terlihat meneguk ludahnya kasar, baru awal tapi Owen sudah sangat seserius itu.

"Tapi di suatu hari, pertempuran besar di perbatasan menjadi puncaknya. Banyak korban tewas dengan kota perbatasan yang porak poranda." Jagadhita membalik-balik bukunya asal, melihat Owen yang terlihat serius membuat Jagadhita ingin tertawa. Oleh karenanya dialihkan pandangannya pada buku yang berada di depannya.

"Bagaimana dengan anak kecilnya, Panglima?" Jagadhita melanjutkan ceritanya, di kala pertanyaan kecil namun berdampak dari Owen.

"Anak kecilnya? Dia bersembunyi di salah satu lumbung padi. Tapi nyatanya ia tak sendirian, ada seorang remaja di dalamnya tengah bersembunyi pula. Selama pertempuran 4 hari itu, keduanya merasa semakin akrab lewat lumbung padi yang tak seberapa besar. Kau tau pangeran, apa yang dikatakan pertama kali remaja itu setelah pertemuan mereka?" Owen menggelengkan kepalanya, menunggu lanjutan cerita menarik dari Jagadhita.

"Remaja itu berkata bahwa dia penulis syair yang hebat, tapi si anak kecil tampaknya tak percaya. Maka, diraihnya satu kertas dan pena yang ia bawa yang diselipkan dalam bajunya. Menoreh beberapa tulisan di atasnya. Setelah bergelut dengan tulisannya, remaja itu meminta agar si anak kecil mulai membacakannya." Jagadhita menatap lembaran yang telah ia baca, tulisannya terlihat rapi dan apik. Memang seperti tulisan pesyair yang hebat.

"Lalu si anak kecil kebingungan, ini syair tentang cinta dia tak paham. Sang remaja kemudian merebahkan tubuhnya dengan menatap langit-langit lumbung. Dia bercerita bahwa seharusnya syair itu dituliskan untuk kekasihnya, tapi mereka berpisah karena pertempuran itu tak tau lagi arah mana antara keduanya. Dan dia berpesan kepada si anak kecil lantas mengelus kepalanya pelan, 'Kau harus keluar dari sini dengan selamat, dan berbahagia. Simpan syairnya, bacakan pada orang yang kau cintai. Dan namaku Troya, dari Kota Arcus Tanah Seberang senang bertemu denganmu Panglima Jagadhita.'" Jagadhita menutup buku yang dibukanya, seiring dengan cerita yang diakhiri.

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang