29. TULISAN KEDUA PULUH SEMBILAN

441 55 0
                                    

Ampunan kesalahan dan kesombongan berbagi cerita berlomba-lomba siapa yang paling nelangsa. Buih-buihnya berpencar mencari sebuah pengampunan dengan langkahnya yang terseok-seok. Kesadaran akan tumbuh seiring berjalannya waktu, begitu pikirnya. Namun salah, kesadaran adalah buah yang langka. Hanya manusia terpilihlah yang akan menciptakan kesadarannya sendiri.

Dibenarkan dengan sebuah penyesalan, datang pada saat yang tidak tepat. Nasi telah menjadi bubur, tak ada gunanya sebuah kesadaran. Sakitnya dalam, melampaui dunia penuh rintangan. Andam karam semua kebaikannya, digantikan cerita sukma yang begitu luar biasa buruknya.

Bermain-main dalam lingkup setan dan api disekitarnya rupanya candu. Demi sebuah nafsu hina yang bersemayam dalam hati. Iri dan dengki, penghancuran yang paling diwanti-wanti.

“Kau tidak dapat tidur lagi, Batara?” Tiga hari terlewat semenjak kedatangan dirinya yang dipercaya dapat membantu para tabib untuk menyelamatkan anak-anak desa paling selatan. Selama tiga hari pula, laki-laki berwajah layaknya anjing lucu itu selalu terbangun di kala tengah malam. Memilih untuk menyandarkan tubuhnya pada dinding depan balai desa yang tak lagi kokoh.

Merasakan sunyinya malam, dengan beberapa pengawal yang masih berkeliling menjaga keadaan. Salahkan pada Yasa, perkataannya tempo hari mampu membuat bekas luka lams yang ditutupi rapat-rapat kini terbuka lebar. Tersenyum miris, lagi-lagi dirasa dirinya akan gagal.

“Kau juga tak dapat tidur, Owen?” Mendudukkan tubuh kecilnya disebelah Batara ia rasa pilihan yang bagus. Rasakan ada yang berbeda dari sosok di sampingnya, yang hanya menatap ke depan dengan pandangan kosong. Bukan seperti Batara yang penuh semangat dan ambisi layaknya anjing menggonggong melihat mangsa.

“Aku merasa tidur dengan baik semenjak kedatanganmu. Tapi sepertinya kau sebaliknya. Tidakkah ada yang mengganggu pikiranmu? Atau kau tak senang dikirim kemari oleh ayah?” Sudut bibirnya terangkat sedikit, jari-jari tangannya menyatu.

“Bukan ayahmu yang mengirimku kemari.”

“Putra Mahkota?”

“Permaisurinya, Yasa Abevana.” Keheningannya selaras dengan langkah kaki para pengawal yang berjalan di depan balai. Bagaikan langkah kaki mereka adalah sebuah irama syair, menunggu sang penyair handal untuk membacakan kisahnya.

“Mengapa?” Pertanyaan yang ditunggunya, Batara alihkan pandangan pada atma yang lebih kecil disampingnya. Menelisik dari sisi kanannya, wajah bersih nan polos itu menyayat hati kecilnya. Bagaimana keluarga kerajaan dengan mudah menyingkirkan anak tak berdosa ini?

“Karena ayahku, Owen.” Sang pangeran kecil tak memahami maksudnya, bahkan dirinya tak mengenal ayah dari Batara. Dirinya hanya tau jika ayah dari temannya ini adalah seorang tabib kerajaan.

“Apakah ayahmu memiliki kesalahan pada keluarga kerajaan?”

“Ya, dia bersalah. Dan pantas menerima hukumannya.”

“Apakah ayahmu baik-baik saja?”

“Beliau lebih dari sekedar baik.” Miris, suaranya terdengar miris. Bahkan rautnya pun tak dapat dibohongi.

Euforianya menjadi dingin, tak mampu berikan pertanyaan dan jawaban lebih dalam. Saling membuka luka lams nampaknya belum siap, tapi sepertinya telah dituliskan pada sang pencipta. Bahwa inilah saatnya, “ceritakan padaku. Aku ingin mendengarnya langsung dari putranya.”

“Apakah jika aku menceritakan dengan jujur, kau akan memaafkannya?” Pintanya begitu sulit, nampaknya ini bukan sekedar cerita biasa. Bukan cerita yang dapat didengar oleh rungu bocah 7 tahun.

“Aku akan berusaha, oleh karena itu ceritakan dengan jujur.”

***

Kala itu seluruh rakyat bersuka cita akan kabar kehamilan sang ibu ratu. Digadang-gadang akan menjadi satu-satunya pangeran hebat milik Tanah Cayapata. Bahagianya bertambah saat putra sulungnya nampak begitu gembira ketika akan mendapatkan seorang adik yang lucu.

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang