25. TULISAN KEDUA PULUH LIMA

441 52 0
                                    

Kalau kata sang mentari tak dapat membangunkan si kecil dari tidur lelapnya, maka kali ini paginya jauh berbeda dari pagi yang kemarin. Bukan semburat sang mentari yang masuk melalui biliknya, namun suara-suara penuh keramaian kali ini membuat si kecil kembali ke alam sadarnya.

Tak menemukan Jagadhita di sampingnya membuktikan bahwa sang panglima belum kembali dalam penjagaannya atau mungkin sang panglima yang terlebih dahulu meninggalkan bilik pagi ini. Udara pagi tak begitu dingin, terimakasih kepada sang mentari yang menyala begitu apik memberikan kehidupan kehangatan.

Langkah kakinya perlahan menuju ke pintu utama, sekedar melihat keadaan di luar yang membuat suara-suara hidup itu. Namun tak dapat dipungkiri, ia merindukan momentum sederhana dengan kicauan para rakyat yang tengah berbincang santai dengan pekerjaan masing-masing.

Dilihatnya beberapa kelompok ibu yang tengah menumbuk gandum hasil perkebunan yang tak seberapa itu, sekelompok laki-laki dewasa yang terlihat tengah membangun sebuah rumah? Atau sekedar melihat tawa ceria anak-anak di desa paling selatan.

"Pangeran Owen?" Sedikit tersentak kala tak menyangka bahwa Panca telah berdiri pada samping dirinya. Memegang dadanya dengan sebelah tangan, tak lupa raut wajah yang terlihat menggemaskan untuk sekedar dinikmati.

"Maaf telah membuatmu, terkejut." Senyum canggung Panca dapat terlihat dengan jelas, maklumlah ini pertama kalinya mereka bertemu secara tatap muka dan berbincang sejenak.

"Tak apa, Panca." Senyuman Owen yang terlampau lembut hingga mengeluarkan lesung pipinya itu membuat Panca sedikit terpana. Bagaimana mungkin sang pangeran jauh berkali-kali lipat lebih indah saat ini dengan sorot mentari yang memantul pada netra coklatnya?

Panca menggelengkan kepalanya, mengusir pemikiran halusinasi yang mulai merambat. Rasanya tak benar mengagumi seseorang yang telah terikat. Apalagi bersaing dengan Jagadhita tak akan pernah ia pikirkan atau lakukan.

"Waktunya untuk menikmati sarapan, ikutlah denganku." Owen hanya mengikuti Panca sepanjang jalan dengan beberapa sapaan yang membuat Owen bungah.

Keduanya berhenti pada sebuah kedai rumah makan. Entah itu sebuah kedai atau rumah biasa, Owen tak tahu. Sebelum dirinya pergi meninggalkan desa ini, ia rasa tak pernah menjumpai tempat ini sebelumnya. Dilihatnya atma yang tengah duduk berbincang bersama beberapa warga desa, begitu ramai dengan dihadiri oleh Mada.

Begitu netra sang panglima menangkap siluet si kecil, senyum tipis bak sebuah ucapan selamat datang diberikan. Dibalas oleh cengiran lucu khas milik si kecil layaknya seorang anak kecil yang diberi mainan. Langkah kakinya begitu riang menuju tempat dimana sang panglima berada. Meninggalkan Panca yang terdiam pada tempatnya.

Membungkuk sejenak untuk memberi sebuah salam pada beberapa tetua dan warga desa disana. Ajaran sang bibi ketika dirinya masih menjadi seorang rakyat biasa.

"Aku ingat bagaimana kau datang bersama bibimu kala itu, kau masih sangat kecil. Sekarang kau telah tumbuh dengan baik, dan kabar pernikahanmu dengan panglima terhebat di Tanah Cayapata memasuki runguku." Owen bersemu malu, mendengar lontaran dari ia tau siapa itu. Salah satu tetua yang cukup dekat dengan dirinya saat waktu kecil, selalu memberinya sebuah permen kacang yang Owen sukai.

"Terimakasih telah mengingatku, aku sangat tersentuh." Tak pernah rasanya sebahagia dan sebebas ini sebelumnya, Owen bertemu dengan dunianya. Dunia aslinya begitu bebas, tak layak seperti sebuah jeruji yang membuatnya muak.

"Makanlah, aku membuatnya khusus untukmu." Jagadhita menyodorkan sebuah mangkuk berisi sup hangat di dalamnya. Netra Owen berbinar kala Jagadhita mengatakan bahwa itu adalah hasil buatannya. Owen tau bahwa sang panglima pandai dalam segala hal terutamanya memasak, namun tak pernah ia bayangkan bahwa Jagadhita akan membuatkannya semangkok sup hangat.

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang