10. CORETAN KESEPULUH

593 75 0
                                    

"Panglima." Lirihan pelan dan tatapan berbeda Jagadhita hadapkan pada sebelah dirinya.

Helena menatap Jagadhita dengan pandangan kecewa, seolah harga dirinya dilebur begitu saja. Apa yang kurang dari dirinya? Dan apa kelebihan si kecil Owen yang tidak dimiliki oleh dirinya.

"Maafkan saya, Putri." Jawaban pelan dari Jagadhita hanya mampu didengar oleh Helena. Tanpa repot menatap kembali atma sang jelita.

"Jagadhita, apa kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu? Kau disini dihadapan wali mu, juga sang raja Tanah Cayapata." Suara tegas itu mengembalikan fokus keduanya, kembali menatap tegas tanpa ada ragu-ragu dalam mata elangnya.

"Mohon maaf jika hamba lancang Yang Mulia, tetapi saya Panglima Tanah Cayapata Jagadhita bersungguh-sungguh atas ucapan saya." Jagadhita membungkuk dalam duduknya, guna menghormati sang raja penguasan Tanah Cayapata.

Di ujung sana, tak hentinya Owen menatap punggung tegap Jagadhita. Pikirannya kosong, kejadian ini begitu cepat berbalik bahkan dalam hitungan menit saja.

Dimana bahunya yang menurun sedari tadi, dimana jemari-jemari kecilnya yang menggenggam sembari meremat jubah kebanggaannya. Semua sirna di kala rungu pendengarannya menangkap kalimat penenang dari sang panglima.

"Pangeran Owen." Netra bulatnya beralih dari punggung Jagadhita menuju tepat di manik mata sang ayah.

"Ya, Yang Mulia." Tenggorokannya terasa tercekik, suaranya begitu lirih namun dengan pantulan suara dalam ruangannya mampu membuat Owen jauh lebih baik dari yang ia duga.

"Bagaimana pendapatmu tentang Panglima Jagadhita." Dirinya menatap sekeliling, gusar. Tak ada dalam pikirannya bahwa ia akan mengungkapkan semuanya pada anggota keluarga kerajaan secepat ini.

Di tengah kebingungannya, dirasakan satu telapak tangan mungil menggenggam jari-jarinya. Dilihatnya Yasa tersenyum menenangkan, seolah tau apa yang tengah adik iparnya rasakan.

Owen tak pernah diajarkan tentang bagaimana ia harus berucap dikala keadaan seperti ini, bagaimana cara ia bersikap di aula ini. Semuanya bagi Owen adalah baru dan mengikuti alurnya adalah jalannya, memang sedari awal tak ada pelajaran berharga yang dapat ia terima disini.

"Katakan apa yang ada di hatimu, jawaban disini tidak pernah dianggap salah." Satu kalimat mampu dipelajari Owen, ini adalah pelajaran baru baginya. Dimana dalam keadaan seperti ini semua jawaban akan dianggap sebagai keputusan.

Owen terdian sejenak, mencoba mengingat dan merasakan apa saja yang dirinya dan Jagadhita lalui. Entah alur apa, tetapi Owen mengingat pertama kali mereka bertemu dan bertegur sapa.

Jagadhita yang menemaninya ke kebun coklat, belajar banyak hal dari panglima kerajaan sendiri. Nyeri dihatinya dirasakan ketika melihat Jagadhita dan Putri Helena asik berbincang mengabaikan dirinya. Hingga syair yang dibacakan dengan ketulusan hatinya. Lalu terakhir, perasaan aneh ketika dihadapkan pada Helena yang mengaku tertarik pada Jagadhita.

Semuanya berputar dalam pikirannya, entah kenapa sorot matanya malah tertuju pada Abishekaa yang sedari tadi nampak melihatnya. Dirasa tatapannya berbalas, Abishekaa menganggukkan kepalanya dua kali. Entah untuk maksud apa, tetapi Owen tahu Abishekaa memberi makna tersendiri dalam anggukannya seolah mendukungnya tentang apapun keputusannya.

"Yang Mulia, izinkan aku menjawab pertanyaanmu tentang pendapatku mengenai Panglima Jagadhita." Owen menghela nafas sejenak, mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

Euforianya berbeda, untuk pertama kalinya Owen dihadapkan pada pembicaraan serius. Biasanya ia hanya akan mendengarkan sembari terkantuk-kantuk. Tapi, dalam aula ini ia dituntut untuk menjadi pemeran utamanya.

"Sebelumnya terimakasih atas kesempatannya Yang Mulia, dan terimakasih atas pengakuan dari Panglima Jagadhita. Jujur, aku tidak tau apa yang harus aku katakan karena ini benar-benar diluar pikiranku dan terjadi secara tiba-tiba. Tapi, aku akan mengungkapkan dengan jelas dan sesingkat mungkin." Netranya masih menatap punggung tegap Jagadhita, berharap Jagadhita mampu melihat dirinya bahwa tengah gugup luar biasa.

"Panglima Jagadhita adalah jiwa yang hebat, otak emas dan perisai Tanah Cayapata. Anak keagungan dari Yang Mulia Raja, serta sosok dewasa nan pemberani yang terbentuk karena kewajiban dan abdinya. Entah apakah aku patut untuk memujinya, tetapi benar adanya jika aku ada ketertarikan tersendiri pada panglima kerajaan. Banyak hal yang panglima ajarkan kepadaku yang tak diajarkan kedua orang tuaku. Dengan Panglima Jagadhita, aku bisa merasakan jiwanya yang bebas bersatu dengan jiwaku dan mengingatkan ku pada gelar si Owen si kecil yang nakal dan tak tahu aturan serta si bodoh Owen. Tak ada tuntutan dan beban jika berada di sampingnya, di dominasi rasa nyaman begitulah alur yang dapat ku simpulkan. Jika aku boleh menyampaikan keputusanku, aku akan mengikuti arah Panglima Jagadhita. Kemanapun dia berada." Setelah menyelesaikan kalimatnya, netra Owen menatap sang ayah. Menatap penuh arti untuk keduanya.

Ada bangga bercampur lega dalam hati Owen, kalimat tulus yang mampu membuat hati Jagadhita berdesir pelan. Kalimat yang sepanjang hidupnya ingin ia dengar, sebuah kehormatan dituangkan pada sosok Pangeran Owen.

Buncah kebahagiaannya dirasakan pada sang Ibunda, putranya telah tumbuh dewasa tanpa campur tangan dirinya serta suaminya. Banyak menyesal mengapa mereka melalui hidup tanpa melihat perkembangan si kecil Owen. Banyak kata dan ungkapan sayang yang tak pernah tersampaikan.

Bagaimana putranya bisa bertahan hidup di luar sana? Apa yang diajarkan bibinya pada putra kecilnya di kala itu? Apakah putra kecilnya makan dan tidur dengan baik? Apa putra kecilnya punya banyak teman di masa itu? Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang belum pernah ia lontarkan pada si kecil Owen.

Bagai kain yang ditutup pada mata indahnya, dan rungu yang ditutup erat-erat dibiarkan buta nan tuli untuk si kecil Owen. Masa kelam itu membuat sang Ibunda tercubit hatinya. Di hadapannya, si kecil telah tumbuh menjadi sosok dewasa yang polos dan haus akan segala hal baru. Namun, tepat dihadapannya pula atma ini telah menunjukkan sisi lain dari dirinya.

"Apakah kau merasa cukup pantas untuk Panglima Jagadhita, Pangeran Owen?" Inilah tolak ukurnya, Owen sempat ragu ingin menjawab tapi apa yang ia katakan sebelumnya tidak dapat dikembalikan. Maka jalan terbaiknya adalah tenggelam pada kubangan yang sama, berharap dirinya tak salah langkah. Tetapi dorongan pada hatinya membuat semuanya jauh lebih mudah nan meyakinkan.

"Aku tidak cukup pantas untuk Panglima, jauh dari kata pantas. Tetapi, jika diberi kesempatan aku akan memantaskan diri untuk bersanding dengan Panglima Jagadhita bagaimanapun caranya."

***

Bulan purnama, di keheningan malam cahayanya memantul membentuk mangata. Tersenyum tipis di kala rungunya mendengar kalimat penuh dengan ketulusan. Matanya tak pendar dari pantulan bulan di sepanjang sungai kecil yang mengalir di Kerajaan.

"Apa yang kau lakukan disini?" Batara tak beranjak satu titik pun dari tempat berdirinya. Bahkan tak perlu susah payah untuk sekedar melihat siapa yang menegurnya.

"Melihat mangata." Barulah setelah menjawab pertanyaan dari Mada, Batara menolehkan wajahnya yang secerah rembulan malam ini demi menatap Mada yang tengah menaikkan sebelah alisnya.

"Mada, aku tau mengapa mereka ditakdirkan. Karena tak ada prinsip yang seteguh Pangeran Owen, dan konsistennya Panglima Jagadhita. Bulan dan bintang akan bersatu tak lama lagi, maka diberkatilah Tanah Cayapata." Dirasa sudah cukup berada disana, Batara meninggalkan tempatnya beserta Mada dengan langkah santai seolah tak ada pembicaraan yang berarti.

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang