03. TULISAN KETIGA

610 70 0
                                    

Dentingan sendok, garpu, dan piring seolah menjadi latar suara pada pagi ini. Suasana yang teramat biasa seperti hari-hari sebelumnya. Wejangan berbagai masakan di hidangkan pada meja panjang nan mewah itu.

"Menantuku, makanlah buah-buahan segar ini. Sangat sehat untuk bayimu." Suara lembut itu berasal dari Sang Ratu, dibalas dengan anggukan dan senyuman manis pula oleh Yasa.

"Aku hari ini ada pertemuan dengan para menteri bersama Putra Mahkota. Mungkin sedikit terlambat perjamuan makan malam." Sang Raja menyelesaikan acara makannya, menatap seluruh keluarga kecilnya.

"Apakah aku boleh ikut?" Cicitan pelan dari Owen membuat ke empatnya menengok ke arah suara. Sedikit ragu-ragu untuk sang ibunda menjawab.

"Owen." Ah, Owen rasa bukan waktunya.

"Tentu, kau bisa ikut." Kali ini Sang Ratu hanya menaikkan sebelah alisnya menatap suaminya yang malah terlihat santai saat ini.

Tak dapat dipungkiri, hati Owen membuncah. Ini adalah pertama kalinya Owen akan menghadiri rapat kerajaan. Netranya bertumbukan dengan Yasa, senyum cerah keduanya terlontar. Abishekaa dapat merasakan kebahagiaan itu, setidaknya adik kecilnya senang.

***

Matanya menatap sekeliling dengan antusias, di depannya sudah ada ayahanda beserta kakaknya. Menuju ke istana timur tempat para menteri akan mengadakan rapat. Sebelumnya tak pernah ia injakkan kakinya di tempat ini, cukup menarik dengan jembatan kecil yang membelah sebuah sungai kecil.

"Kau mau ikut masuk, Owen?" Suara sang ayah menginterupsinya untuk tetap memperhatikan jalan. Anggukan diberikan Owen membuat sang ayah tersenyum kepadanya.

"YANG MULIA TELAH TIBA. YANG MULIA TELAH TIBA." Suara menggelegar terdengar sebelum pintu berukuran besar tinggi menjulang itu terbuka. Para prajurit membungkuk untuk memberi penghormatan. Dengan polosnya Owen membalas membungkuk kepada para prajuritnya. Abishekaa yang melihatnya pun hanya menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis di wajahnya.

Setelah pintu terbuka, yang Owen lihat adalah para menteri dengan jubah kebesarannya tengah berjejer rapi di samping kanan dan kiri. Turut membungkukkan badannya ketika keluarga kerajaan datang.

Dengan penuh wibawa Sang Raja menduduki tahta nya tepat di tengah-tengah. Putra Mahkota dan pangeran Owen berjajar di samping kiri dan kanannya. Langit-langitnya begitu tinggi, sama dengan Istana utama.

15 menit berlalu, jujur Owen mulai bosan dan mengantuk. Tidak ada yang ia pahami, semua orang berusaha untuk menyuarakan pendapatnya. Yang Owen dengar hanyalah perbatasan, ekonomi, pajak, dan ah ia sudah lupa.

Kepalanya terantuk-antuk, rasa ngantuk mulai mendominasi pangeran kecil. Sedikit melirik ke arah putra bungsunya yang terdiam sedari tadi, dilihatnya Owen yang tengah menyeimbangkan tubuhnya agar tidak terpelesok ke depan atau bahkan ke samping.

Sang Raja mengangkat sebelah tangannya. Membuat ruangan berlangit-langit tinggi itu mendadak diam. Mengapa Sang Raja ingin menghentikan sejenak acara rapatnya?

"Penasehat, panggilkan Panglima Jagadhita untuk menghadapku."

"Baik, Yang Mulia."

"Owen." Yang dipanggil namanya lantas menegakkan tubuhnya, seluruh pasang mata kini menatapnya. Menatap sang ayah dan saudaranya seolah berkata, "Aku tidak berbuat apa-apa."

Derap langkah Penasehat kerajaan dan Jagadhita dibelakangnya mengalihkan atensi semua orang di ruangan. Membungkuk untuk memberi penghormatan kepada sang penguasa, Jagadhita memberikan salam.

"Yang Mulia memanggilku?"

"Jagad, antarkan Pangeran Owen untuk kembali ke istana selatan. Sepertinya putra kecilku sudah mulai mengantuk." Netra Owen berkedip-kedip berfikir sebentar, apakah terlalu kelihatan?

"Baik, Yang Mulia." Setelah mendapatkan anggukan dari sang ayah, dengan pelan Owen mulai beranjak dari duduknya.

Bersanding dengan Jagadhita tak pernah Owen bayangkan sebelumnya. Tubuhnya yang kecil jelas terlihat jauh berbeda dengan tubuh tinggi nan kuat milik Jagadhita.

Setelah memberi salam terakhir, langkah kecil Owen mulai mengikuti Jagadhita di depannya. Keheningan cukup lama antara keduanya. Entah kemana rasa kantuk itu menguap, yang Owen pikirkan adalah punggung tegap milik Jagadhita.

"Panglima." Panggilan pelan dari Owen mampu memberhentikan langkah Jagadhita. Membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arah Sang Pangeran.

"Bisakah kita kesana sebentar?" Owen menunjuk pada sebuah kebun kecil yang di dalamnya terdapat beberapa pohon sedang hingga kecil.

"Tapi Yang Mulia ingin aku mengantarkanmu ke istana selatan, pangeran."

"Sebentar saja." Pinta Owen dengan suara kecilnya, aura Jagadhita sangat berbeda sedikit membuat Owen takut.

Jagadhita bimbang, bingung harus berbuat apa. Tapi melihat tatapan Owen membuatnya sedikit luluh. Lantas menganggukkan kepalanya dan mulai mengambil langkah ke arah kebun. Diikuti Owen yang bersorak senang dalam hatinya.

Sangat sejuk, dengan rurumputan yang berada di bawahnya. Matanya tertuju pada pohon-pohon yang tak begitu tinggi dengan buah yang menggantung berwarna coklat. Tak pernah ia lihat buah seperti itu sebelumnya.

"Panglima, itu apa?" Jagadhita mengarahkan pandangannya pada objek yang yang ditunjuk Owen.

"Itu buah coklat, bahan utama untuk membuat coklat." Owen suka coklat, matanya membulat penuh binar.

"Benarkah? Bisakah aku mencobanya?" Jagadhita tersenyum tipis, memetik salah satu buah yang terlihat sudah matang. Membukanya dengan pisau kecil yang selalu ia bawa di pinggangnya. Menampakkan buah putih yang terlihat menggoda Owen.

"Jangan ditelan, ada bijinya. Bijinya akan dibuat coklat." Owen mengangguk paham, mengambil alih satu potong buah yang diberikan Jagadhita.

Manis, netra Owen berbinar untuk kesekian kalinya. Tawa manis itu menguar dengan lompatan kecil yang ia berikan. Tanpa sadar, Jagadhita berdesir hatinya.

"Panglima, kapan-kapan aku ingin membuat coklat sendiri. Bisakah kau mengajariku?"

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang