Langit pagi itu sangat cerah, benar benar biru, udara juga sangat membuat diri shani menjadi sangat tenang.
"Aku harap akan ada hal baik hari ini"
Shani menatap kelangit sebelum dia kembali melangkahkan kakinya menuju rumah gracia.
ini hal yang ingin dilakukan shani sejak kemarin, menemui gracia, kekasihnya.Shani berdiri sebentar saat sebelum dia membuka gerbang, shani melangkah perlahan lalu memencet bel disamping pintu. Wajahnya benar benar berbinar, sorot mata shani menampilkan ketenangan dan kebahagian yang mendalam.
Suara pintu terbuka terdengar, gracia yang membukanya, seperti harapan shani.
"Aku boleh masuk gak?" Tanya shani dengan senyumnya
Gracia menatapnya heran namun senyumnya tak pernah pudar diperlihatkannya pada siapapun
"Kamu siapa ya? Ada perlu apa kesini?"
Shani terdiam sejenak, dia menatap gracia masih dengan senyuman meskipun rasanya sangat sakit. Shani lalu mendekatkan dirinya pada gracia, hal itu membuat gracia memundurkan tubuhnya.
"Aku gak mau ngapa ngapain, anin bisa dipanggil gak?" Tanya shani lalu dia kembali melangkah mundur.
Gracia mengangguk, dia lalu masuk kedalam meninggalkan shani diluar sendirian.
Shani menarik nafas dalam dalam, hatinya tiba tiba saja terasa sakit, melihat tingkah gracia yang sangat berubah sekali.
"Sudah sejauh ini ternyata, aku gak sadar ge, selama ini aku sibuk nyari jawaban dikepala aku sendiri"
Anin keluar melihat shani yang masih berdiri pada tempatnya tanpa bergerak sedikitpun. Shani menyalami tangannya, lalu memeluk anin dan menepuk pundak anin sebanyak 3 kali.
"Makasih anin, adik kelas aku yang dulu selalu bantu aku waktu osis SMA"
Ucapan itu seketika membuat mata anin meneteskan air mata, dia menatap shani dengan senyum, ada bahagia di diri anin saat itu. Dia menatap shani dengan tulus.
"Maaf soal kemarin, kamu benar anin. Hal itu aku tau dari diri aku sendiri" ucap shani.
Anin menyeka air matanya "Maaf, aku lancang"
Shani tertawa kecil dia lalu memegang pundak anin lalu mendekatkan wajahnya pada anin.
"Gapapa, aku emang pantas buat dapat itu"
Anin hanya menatapnya dengan senyuman, air matanya terus menetes tanpa henti, melihat shani yang dulu kini telah kembali, shani natio yang sebenarnya.
"Oh ya, gracia lupa aku ya?" Tanya shani, dengan senyuman yang tak pudar dari wajahnya, nyatanya itu hal terberat yang dia tanyakan sejauh ini, hal yang sebenarnya tak ingin dia tanyakan karna dia sudah mengetahuinya.
"Maaf aku nanya itu anin, tumor otak gracia makin parah? Kasih tau aku hasil pemeriksaannya" jelas shani.
"Maaf selama ini aku gak ngedampingi dia buat pengobatan, aku jahat sih, cuma mentingin jawaban dari semua pertanyaan dikepala aku aja, aku minta maaf"
Shani lalu menarik nafas panjang.
Namun anin seakan tidak terima dengan ucapan shani barusan yang menyebutkan kalau dirinya salah karna tidak menemani gracia untuk berobat.
"Gak shan"
Shani bingung, alisnya menyatu, senyumnya pudar dia menatap anin dengan kebingungan.
"Gracia memang maunya seperti itu, dia mau kamu temuin jawaban dikepala kamu, supaya nanti.."
Anin menghentikan ucapannya, dia menatap sedih kearah shani.
"Supaya nanti..? Maksudnya?" Tanya shani bingung.
"Supaya nanti pas dia pergi kamu gak kesusahan dan ngerasa bersalah karna kamu belum kabulin harapan yang dia harapkan dari kamu"
Shani tersenyum, namun air matanya menetes. Kesedihan diwajahnya tak bisa ditutupi lagi.
"Harapan aku ingat masa lalu itu kan? Aku udah kabulin harapan dia, aku boleh masuk?"
Anin mempersilahkan, shani lalu menghampiri gracia yang tengah duduk sendirian dihalaman belakang sambil menatapi bunga bunga indah.
Shani menepuk pundaknya, membuat gracia menatapnya kebingungan "ge"
Panggilan singkat itu membuat gracia berpikir sedikit, dia lalu berdiri menatap shani.
"Kamu tau panggilan itu dari mana?" Tanya gracia dia lalu mendekatkan wajahnya pada shani, menatap shani dengan tajam.
"Karna aku peramal"
Gracia terdiam sejenak, barulah dibenaknya teringat akan seseorang didepannya, gracia meneteskan air matanya menatap shani dengan perasaan bersalah. Gracia hanya diam seterusnya. Tak ada lagi kata yang mampu diucapkan olehnya, dia benar benar tak menyangka bisa melupakan seseorang yang penting didalam hidupnya sendiri karna penyakit yang dideritanya.
"Gapapa, jangan nangis, katanya kalau gitu udah mau sembuh, gapapa, ayo senyum. Mana senyum yang selalu gracia tampilkan disetiap hari?"
"Aku kangen senyum itu ge, banget, maaf aku jarang ngabarin dan hampirin kamu lagi, aku sibuk. Aku minta maaf, harusnya aku dihukum sih karna ngabaiin pacar aku sendiri"
Gracia menatapnya namun ekspresinya tidak berubah "aku takut lupa kamu"
Mata shani berkaca kaca, dia menatap gracia yang mulai memeluknya dengan erat, shani membalas pelukan itu dengan hangat.
"Kamu gaakan pernah lupa sama orang yang pernah jadi hal penting didalam hidup kamu, sama halnya aku, gaakan pernah lupa kamu meskipun kejadian itu terjadi, jangan takut untuk lupa aku. Karna pasti akan ada satu moment dimana kamu bisa ingat aku ge"
"Aku ga nangis tuh kamu lupa aku, kenapa kamu nangis, Gege yang kuat yang aku kenal mana?"
Gracia melepas pelukan itu dia menatap shani lalu menyeka air matanya "Aku kangen"
"Aku lebih kangen, tetep disini sama aku ge, jangan kemana mana, meskipun lagi hujan"
Gracia mengangguk meskipun tak mengerti akan maksud shani yang diucapnya.
"Udah makan?" Tanya shani
"Belum, gamau makan, gak nafsu makan maunya disuapin kamu" Gracia dengan tingkah anak kecilnya membuat suasanya setidaknya menjadi lebih baik, suasana sedih tadi tiba tiba hilang begitu saja, kini hanya ada kebahagian dikedua tatapan mereka berdua.
Shani menarik tangan gracia menuju dapur, menyuruhnya duduk disalah satu kursi. Dia lalu dengan sibuk membuatkan makanan untuk gracia yang ternyata belum makan apapun.
"Yang enak, harus!" Ucap gracia sambil terus melihati shani yang dengan lihai membuatkannya makanan.
Shani membalikkan tubuhnya "Kalau gak enak gimana, kamu tetep makan gak?" Tanya shani
"Bakal, kan dari pacar aku, jarang jarang juga kamu masakin aku, besok masakin aku lagi ya, janji, harus janji!" Tegas gracia.
Shani kembali membalikkan tubuhnya, dia tertawa kecil melihat tingkah gracia yang sangat seperti anak kecil.
-
Tak lama berselang makanan sudah terhidangkan diatas meja, shani perlahan menyuapi gracia makan. Dengan telaten shani memisahkan hal hal yang gracia tidak inginkan.
"Biasa kamu suka ge, kenapa tiba tiba suruh misahin?"
"Kan emang aku gasuka, kamu gimana sih"
Shani diam namun dia tetap menyuapi gracia, melihatnya dengan penuh ketulusan.
"Kalau gak ketemu kamu, aku gatau ternyata jatuh cinta bisa setulus itu, aku pikir jatuh cinta hanya sekedar jatuh cinta, aku gak pernah percaya sama cerita orang orang yang ngerawat pasangannya yang lagi sakit, bahkan aku pernah berpikir, untuk apa merawat orang yang sudah mau dipanggil, ternyata rasanya sesakit itu, dan aku harap kamu bisa lebih bertahan lama" gumam shani yang masih menyuapi gracia makan.
Tatapan shani benar benar tak bisa lepas dari wajah cantik gracia yang terlihat pucat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Letter (GreShan)
General FictionBanyak hari yang sudah dijalani. Pertanyaan demi pertanyaan sama sekali belum terjawab, seluruh hal menjadi sangat misterius, kalimat kalimat memenuhi benak shani setiap harinya. Hanya lewat konsultasi dan surat surat ia dapat melampiaskan seluruh i...