20. Koridor Kematian

11 0 0
                                    

Kami memandangi toples yang menggelinding ke arah kami, lalu membelok ke arah pintu, menghantam kusennya dengan keras, dan berhenti.  Kami membeku di tempat, tidak mampu bergerak, ketika si Gendut berbisik, “Dengar, ada sesuatu yang mengerikan di dalam toples ini.
Ayo serang dia sebelum dia melukai kita.  Kita harus melemparkan beberapa tombak ke toples dan membunuh apa yang keluar."

"Tidak," aku keberatan.  "Kita lanjut saja dan abaikan hal ini untuk sekarang."

Aku tahu toples ini adalah temuan berharga, salah satu dari sedikit porselen biru dan putih raksasa dari Dinasti Ming yang masih utuh.  Merupakan tindakan kriminal yang bodoh jika merusaknya.  Dan aku tahu persediaan oksigen kami berkurang dengan cepat;  jika ada zombie di dalam toples itu, meskipun ukurannya sangat kecil, kami masih harus bertarung dan tidak memiliki cukup udara untuk membuat kami berada di pihak yang menang.  Dan lebih dari segalanya, aku tahu jika aku sudah mendekati batas fisikku dan yakin orang lain juga demikian.

"Bisa jadi hanya lobster atau kepiting yang bersembunyi di toples itu," bujuk si Gendut.  "Kenapa kita harus ketakutan seperti ini. Ayo kita ke sana dan intip."

A Ning menggelengkan kepalanya.  "Kita harus sampai ke makam utama sekarang juga tanpa membuang waktu lagi. Mari kita hindari toples itu dengan mencari jalan keluar lain dari sini."

Tapi tidak ada jalan keluar lain atau bahkan celah untuk kami lewati.
Ketika si Gendut melihat ini, wajahnya membengkak seolah-olah akan meledak.
"Sialan, entah kita memindahkan toples ini atau kita terjebak di sini selamanya. Mungkin kalian semua pengecut tapi aku akan berhenti sekarang juga daripada takut dengan sesuatu yang bahkan mungkin tidak ada di sini."

Aku melihat ekspresi keras kepala di wajah A Ning yang mulai kukenal dengan baik.  Si Gendut tampak geram dan si Botak tampak kosong seperti biasanya.  Mereka bertiga menatapku seolah mereka menginginkan pendapatku.

Aku sebenarnya tidak punya.  Aku tahu adalah tindakan bodoh kalau terburu-buru mendapat masalah, tapi si Gendut ada benarnya.  Perampok kuburan sering kali dilanda kepanikan hanya karena mereka berhasil menakuti diri sendiri tanpa alasan.  "Baiklah," aku memutuskan, "kita akan mengambil langkah ini, selangkah demi selangkah. Jika tidak ada masalah, baguslah. Jika kita menemukan masalah, aku membawa empat speargun dan aku tidak takut menggunakannya."

Kami meletakkan peralatan menyelam kami di sudut ruangan dan mendekati pintu, si Gendut memimpin.  Kami hampir cukup dekat untuk melihat apa yang ada di dalam toples ketika toples itu mulai menggelinding menjauh dari kami dan menghilang di koridor yang panjang dan gelap.  Kami dapat mendengarnya terjatuh di jalan setapak dan kami bergegas mengejarnya.

Aku menyalakan senter dan melihat ini adalah koridor lurus dengan dinding batu giok putih.  Dua parit membentang di sepanjang dasar setiap sisinya.  Di ujung lorong ada sebuah pintu yang diapit oleh dua pintu yang lebih kecil.  Ketiganya terbuka lebar, menunjukkan kepada kita bahwa seseorang telah masuk ke dalam.  Guci itu berada di dekat pintu kecil, tidak bergerak, seolah-olah sedang menunggu kami di sana.

Ini aneh, pikirku, seolah-olah toples itu membawa kami ke sini;
ia telah melakukan segalanya kecuali berseru, "Ikuti aku."  Apakah makhluk di dalamnya punya pikiran?  Apa benda ini dan apa tujuannya?
Si Gendut selangkah lebih maju dariku.  Dia menepuk pundakku dan bertanya, "Seringkali ada jebakan yang dipasang di tempat seperti ini. Bisakah kamu melihat apakah ada tanda-tanda yang mencurigakan?"

Giliranku yang memimpin;  Aku mengangguk dan mulai menyorotkan senterku ke dinding dan lantai.  Lantainya dipenuhi pecahan batu kecil, yang membuatku berpikir mungkin ada jebakan panah yang menunggu kami melangkah di tempat yang salah dan meledakkannya.  Jika Sanshu sudah ada di sini, dia mungkin sudah membongkar semua bahaya yang ada, tapi bagaimana jika dia tidak melakukannya?  Dengan hati-hati aku mulai memimpin yang lain menyusuri koridor panjang.

Aku memperingatkan semua orang untuk mewaspadai apa yang mereka rasakan di bawah kaki mereka, pergeseran atau perubahan apa pun pada permukaan batu keras yang mereka pijak, namun aku tidak paham apa yang kubicarakan.  Mendeteksi jebakan adalah sebuah bentuk seni dan aku hampir tidak punya pengalaman.  Aku merasakan gelombang kepanikan dan mencoba menekannya.

"Mari kita istirahat sebentar," saran si Gendut ketika dia melihatku mulai mengalami hiperventilasi.

"Diam," gumamku.  "Jika aku berhenti memperhatikan sedetik pun, kita semua akan mati."
Lalu aku mendengar bunyi gedebuk dan berbalik dan melihat A Ning menatapku ketakutan.  Salah satu batunya roboh karena beban kakinya.

Terdengar suara gemuruh dan kilatan cahaya putih saat anak panah terbang melewati telinga A Ning.
Yang lain hampir mencapai dadanya, tetapi A Ning melompat, berbalik di udara dan menangkap panah di tangannya.  Keahliannya mengejutkanku, tetapi tidak ada waktu untuk menghargai bakat terpendamnya.  Batu-batu di bawah kakiku bergetar dan aku berteriak, "MERUNDUK! Masih ada lagi busur panah yang tersembunyi!"

Kilatan cahaya putih melesat di udara dan aku segera merunduk untuk menghindari anak panah.  Saat aku membungkuk, aku melihat makhluk putih kecil merangkak keluar dari toples dan berlari melalui pintu kecil di sebelah kiri.  Sebelum aku sempat berteriak kepada teman-temanku, ada rasa sakit yang menusuk di dadaku dan aku menunduk dan melihat dua anak panah tertanam di kulitku.

T/N
Lagi2 Wu Xie sial..

Catatan sang Penjarah Makam (Daomu Biji) Buku 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang