3.5 700 pon

616 63 4
                                    

Dengan langkah santai Aleo berjalan menuju parva domus 4, alias rumah tetangganya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan langkah santai Aleo berjalan menuju parva domus 4, alias rumah tetangganya. Pintu yang tidak terkunci mempermudah aksi pemuda itu untuk menyusup masuk ke dalam. Kalau Avia sampai tau, sudah pasti Aleo akan mendapat sangsi berat.

Mengingat dirinya sudah mendapat peringatan agar tidak mendekati Aleen, tapi malah melanggar dengan berani diam-diam menemui gadis itu, ditambah pula masuk ke dalam rumah orang mengendap-endap seperti pencuri, maka kemungkinan besar konsekuensi akhir dari perbuatan Aleo adalah riwayatnya yang akan benar-benar tamat.

Tapi Aleo, tetaplah Aleo. Dia tidak takut pada apapun, bahkan dengan kematian. Lagipula pemuda itu juga tidak suka diikat oleh aturan, oleh karena itu masih dengan langkahnya yang begitu santai seperti tidak ada beban, Aleo menaiki tangga menuju lantai dua rumah orang untuk mencari keberadaan Aleen.

Mengintip dari celah pintu kamar yang tidak tertutup rapat, Aleo menemukan Aleen sedang duduk di depan komputer dengan posisi yang membelakangi pintu. Beruntung Aleen menggunakan pakaian lengkap, kalau tidak, kan Aleo bisa menang banyak.

Pemuda itu memutuskan masuk ke dalam dengan hati-hati. Bergerak pelan sebisa mungkin agar tidak menciptakan suara. Dan setelah berdiri tepat di belakang Aleen, Aleo membungkukkan sedikit badannya untuk mengintip layar komputer gadis itu.

“Cih, chatting-an sama Fikri?” Desis Aleo untuk dirinya sendiri, namun malah terkesan seperti berbisik pada Aleen karena mulutnya berada tepat di samping telinga gadis itu.

“Leo?” Aleen menoleh terkejut.

Pandangan gadis itu mengikuti ketika Aleo menarik diri dan kembali berdiri tegak. “Padahal tinggal nyebrang ke magna domus udah bisa tatapan langsung.”

Mengabaikan ucapan Aleo, Aleen justru celingak-celinguk panik. “Leo, lo lewat mana?”

“Pintu,” jawab Aleo sambil duduk di kasur Aleen. Matanya mengedar mengamati kamar yang didominasi warna ungu pudar bercampur warna putih. Rapi dan wangi, benar-benar menggambarkan sosok Aleen. Seumur-umur ini pertama kalinya Aleo masuk kamar perempuan.

“Nggak, bukan gitu.” Suara Aleen memaksa Aleo kembali melihat gadis itu. “Maksudnya, gimana caranya lo bisa masuk semudah itu?”

Aleo hanya mengendikkan bahunya, membuat Aleen kelihatan frustrasi. Gadis itu mungkin akan menyemburkan banyak kalimat kalau saja suara notifikasi dari komputer tidak mengambil alih perhatiannya.

Hanya berselang beberapa detik, suara ketikan keyboard menggema di ruangan sunyi itu. Aleo mempertajam pendengarannya, mencoba mendengarkan suara itu dengan saksama. Alisnya spontan terangkat begitu suara ketikannya selesai—Deal! Bikin cake-nya di rumah gue aja, oke?—apa hubungan Aleen dengan Fikri memang sudah sedekat itu?

Sebenarnya Aleo masih ragu dengan kemampuannya, makanya dia tidak yakin tebakannya benar atau salah. Kalau saja tadi Aleo sempat membaca isi obrolan Aleen dengan Fikri, mungkin dia masih bisa mencocokkannya, tapi sayangnya Aleo tidak sempat membaca apa-apa.

RABIDUS FAMILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang