8.1 Diagram horizontal

593 62 31
                                    

Tidak ingin membuat Avia curiga bila mereka pulang terlalu larut, maka Aleo dan Aleen hanya singgah sebentar di markas kecil itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ingin membuat Avia curiga bila mereka pulang terlalu larut, maka Aleo dan Aleen hanya singgah sebentar di markas kecil itu. Lagipula tujuan utama Aleo berkunjung ke tempat itu memang hanya untuk mengantar uang. Bukan karena ingin bermain bersama teman-temannya apalagi untuk mengunjungi Razel, sama sekali tidak.

Mengunjungi Razel? Yang benar saja, Aleo tidak sepeduli dan seperhatian itu pada si bintang teater.

“Ada tujuan lain, Tuan muda?” Albert bertanya sesaat setelah Aleo dan Aleen memasuki mobil.

“Langsung pulang.” Kata Aleo, pemuda itu kemudian menghadap ke arah Aleen. “Leen, bantuin.” Ucapnya sambil menyodorkan tangan kanannya yang masih di-tapping.

Tanpa suara, Aleen langsung membenahi perban tangan Aleo yang sedikit berantakan akibat ulah Razel. Gadis tukang acting itu memang sempat meninju tangan patah Aleo dengan alasan kalau itu sebagai balasan karena Aleo sudah menitipkannya di tempat yang tidak layak.

Ketika adegan itu terjadi, wajah Aleo langsung memerah menahan sakit, saking sakitnya, tangannya yang patah bahkan sampai bergetar. Serius, Aleo bahkan bisa merasakan tangannya berdetak seolah-olah kalau jantungnya pindah ke sana. Beruntung Razel perempuan, andai bukan, Aleo pasti sudah membuat tangan gadis itu ikut patah seperti tangannya.

“Masih sakit?”

Ditanya begitu, Aleo spontan beralih menatap wajah Aleen yang ternyata juga sedang menatapnya. Keduanya bertatapan beberapa detik sebelum akhirnya Aleo menjawab, “masih.”

“Kalo gitu ayo balik ke rumah sakit. Kak Albert—”

“Nggak usah.” Aleo menyela cepat. “Kita pulang aja.”

“Tapi kalo infeksi, gimana?”

“Ya tinggal diamputasi, kan?”

“LEO!” Bentak Aleen keras, Aleo sampai meringis mengusap telinganya. “Jangan ngomong sembarangan.” Nasihat gadis itu dengan wajah khawatir bercampur marah, kentara tidak suka pada kalimat yang baru saja Aleo ucapkan.

“Iya maaf, tadi cuma bercanda. Lagian, tangan gue emang masih sakit tapi udah mendingan, jadi nggak usah ke RS segala.”

“Beneran tangannya udah mendingan?” Aleen tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Gadis itu menatap Aleo dengan mata memicing seolah tidak percaya.

“Be-beneran.” Karena wajah Aleen terlalu dekat, Aleo jadi salah fokus hingga membuat ucapannya terdengar aneh begitu. “L-lo sebenarnya ngapain sih? Jauh-jauh sana.” Menggunakan dua jarinya, Aleo akhirnya mendorong pelan kening Aleen agar gadis itu sedikit menjauh.

“Lo nggak bohong kan, Leo? Serius nggak butuh rumah sakit?”

“Enggak, Leen. Serius gue nggak butuh rumah sakit. Sekarang yang gue butuhin cuma istirahat, makanya lo diam aja nggak usah banyak tanya.” Memperbaiki posisi duduknya, Aleo mulai memejamkan matanya. Pemuda itu menyandarkan punggungnya, dengan sungguh-sungguh dia mencoba untuk menghilangkan kesadarannnya alias tidur. Namun ternyata tidak bisa, Aleo butuh posisi lain. “Leen, geser ke ujung.”

RABIDUS FAMILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang