6.1 Konservasi

677 64 11
                                    

Pukul 12 malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul 12 malam. Lima remaja itu memutuskan untuk istirahat mengingat ini sudah tengah malam, tidak baik bila mereka terus berkeliaran apalagi di tengah hutan. Berbekal korek api milik Aleen—yang Sabrina sendiri pun bingung kok gadis itu bisa punya—mereka akhirnya bisa membuat api unggun untuk membantu menghangatkan suhu tubuh.

“Gila! Ini dingin banget. Gue bisa meriang kalau sampai pagi terus-terusan ada di sini.”

Sabrina melirik ke sumber suara. Di sana, Razel yang duduk di sebelah Fikri, tampak menggigil dengan kondisi wajah yang sudah pucat pasi. Gadis itu tidak berhenti menggosok-gosokkan telapak tangannya yang kemudian di tempel ke pipi tirus-nya.

Maklum, sih. Sabrina paham betul kalau dibalik seragam putih gadis rese itu pasti hanya ada tank top tipis yang melapisi badannya. Sabrina saja yang jelas-jelas mengenakan baju kaos sebagai pelapis, masih dapat merasakan udara dingin menembus kulitnya.

Namun meskipun paham kondisi Razel, itu sama sekali tidak menyurutkan niat julid Sabrina terhadap si gadis rese. “Gitu aja ngeluh. Huuuuu ... lemah!”

Razel menoleh dengan mata berkilat penuh emosi. Tentu saja, Sabrina sudah tau ending-nya. “Lo itu sebenarnya kenapa sih? Hobi banget ngejekin gue.”

Sabrina hanya mengendikkan bahunya acuh. Tapi yang tidak pernah ia duga adalah Aleen akan menyambung ucapan Razel menggunakan kalimat yang terdengar menyebalkan. “Mungkin aja Sabrina lagi dalam proses pengakraban diri ke lo Zel, cuma caranya ya gitu.”

“Enak aja!” Elak Sabrina nyolot. “Nggak ya, nggak ada kayak gitu.”

“Ooooh, jadi lo pengen akrab sama gue? I see.” Razel mengangguk-anggukkan kepalanya anggun.

Sabrina menggeleng keras. “Gue bilang enggak!” Tegasnya penuh penekanan.

Namun Razel tidak menggubrisi. “Harusnya lo bilang dari awal, dong.” Kata gadis rese itu. “Siapa tau bisa gue pertimbangkan, kan?”

“Siapa juga yang mau dipertimbangkan sama lo.” Sabrina beralih pada Aleen. “Heh, Leen! Lo kalo ngomong jangan sembarangan dong. Anak orang jadi besar kepala, kan?”

“Siapa yang lo maksud besar kepala?” Gantian Razel yang nyolot.

Membuat Sabrina kembali merasa menang. “Ya lo, lah. Raba aja kepala lo, besarnya udah 3 kali lipat.”

Razel benar-benar memegang kepalanya, mungkin karena refleks.

“Nah, gobloknya kelihatan, kan?”

“SABRINAAA!”

Sabrina menyeringai puas, Aleen tertawa, dan Fikri terkekeh. Tunggu! Fikri terkekeh? Seringai di bibir Sabrina pudar, wajahnya berubah cengo, apa dia salah liat? Memangnya si es kutub punya ekspresi kayak gitu juga?

“Fikri! Lo ikutan ngetawain gue?”

Ah, ternyata Sabrina memang tidak salah liat. Beralih dari Fikri yang menjadi sasaran amukan Razel, Sabrina melirik ke arah Aleo. Tiba-tiba penasaran apa yang sedang pemuda itu lakukan, karena Aleen sendiri masih sibuk tertawa.

RABIDUS FAMILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang