1.5 Hukum newton 3

761 58 3
                                    

Dari tempatnya, Aleen terus mengawasi Aleo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari tempatnya, Aleen terus mengawasi Aleo. Netra pemuda itu kelihatan memindai granit dapur yang berantakan bekas pekerjaan Fikri. Tiga detik kemudian dia bersandar di kusen pintu sambil melipat tangannya di depan dada. “Ternyata anak Papa bisa main di dapur juga? Kirain cuma tau minta doang,” katanya dengan wajah yang sungguh tengil berlebihan.

Sepertinya Aleo salah mengira Aleen yang sudah membuat keadaan dapur menjadi berantakan. Namun dibanding meluruskan kesalahpahaman pemuda itu, Aleen jelas lebih memilih untuk mengoreksi predikat yang Aleo berikan. “Siapa yang lo maksud anak Papa? Gue? Lo kali yang anak Papa.” Aleen mengangkat dagunya tinggi, menegaskan bahwa dia tidak semanja itu.

Kurang dari satu detik wajah tengil Aleo berubah dingin. Awalnya Aleen mengira ekspresi itu hanya untuk menakut-nakutinya, namun hal terakhir yang Aleen lihat di mata Aleo sebelum pemuda itu melangkah ke arah lemari pendingin adalah ... binar luka? Entahlah, Aleen tidak terlalu yakin, tapi dari tatapan itu Aleen bisa merasakan ada lebih dari satu jenis perasaan yang Aleo sematkan. Amarah, kekecewaan, dan luka.

Mungkinkah tanpa sengaja Aleen baru saja menyinggung perasaan pemuda itu?

Aleen menggigit bibir bawahnya sambil terus menatap punggung Aleo yang sedang mengotak-atik isi lemari pendingin. Bagaimana ini? Aleen harus melakukan sesuatu agar mood Aleo tidak memburuk. “Ekhem. B-by the way, gue udah ketemu sama Avia.” Tidak ada respons dari Aleo. “Gue juga udah minta supaya kunci motor lo nggak disita.” Masih tidak ada respons. “Avia setuju dan—”

“Lo bisa masak, kan?”

“Ha?” Aleen mengerjap. Bingung ketika Aleo tiba-tiba meletakkan beberapa bahan makanan di hadapannya.

“Buatin nasi goreng, gue lapar.”

Gadis itu masih plonga-plongo begitu Aleo sudah beranjak menuju meja makan kecil yang ada di sudut dapur. Setelah mendapatkan kesadarannya kembali, Aleen menatap bahan makanan di hadapannya dan Aleo yang duduk anteng di sana, secara bergantian. Menghembuskan napas pasrah, Aleen berakhir mengambil bahan-bahan itu lalu mulai bergerak untuk membuat makanan yang Aleo request.

“Bikin yang pedas. Nggak pake lama.”

Sumpah. Suara Aleo terdengar begitu menyebalkan di telinga Aleen. Sambil menuangkan lada bubuk, mulut Aleen tidak berhenti bergerak melafalkan sumpah serapah tanpa suara untuk melampiaskan kekesalannya. Kalau bukan karena terpaksa, Aleen mana mau ditindas begini. Gadis itu masih cukup sadar diri, bahwa beberapa saat lalu ia telah melakukan kesalahan terhadap Aleo, meskipun Aleen juga tidak tau secara spesifik di mana letak kesalahannya.

Beberapa menit kemudian hasil masakan Aleen siap. Gadis itu menghampiri Aleo lalu meletakkan sepiring nasi goreng tepat di depan pemuda itu. “Kalo rasanya aneh, nggak usah protes macem-macem,” peringatnya sambil menarik kursi dan mendudukkan dirinya.

Aleo mencobanya satu suap, Aleen menyondongkan badannya menunggu reaksi pemuda itu. “Gimana? Enak?” Tanyanya penasaran.

Dengan gerakan pelan Aleo mengunyah beberapa kali, setelah menelan makanan yang ada di dalam mulutnya, pemuda itu mendorong sepiring nasi goreng itu ke hadapan Aleen. “Cobain sendiri.”

RABIDUS FAMILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang