6.3 Imperialisme Jepang 1944

674 59 11
                                    

“Kita bisa berhenti dulu nggak, sih? Rasanya telapak kaki gue bentar lagi bakal melepuh, deh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kita bisa berhenti dulu nggak, sih? Rasanya telapak kaki gue bentar lagi bakal melepuh, deh.”

Tanpa perlu menunggu untuk berpikir 2 kali Fikri langsung membungkukkan badannya. “Naik.”

Tidak lama berselang Fikri sudah bisa merasakan pergerakan Razel yang melompat menaiki punggungnya, gadis itu juga memeluk leher fikri dari belakang. “Thanks, Fik.” Ucapnya dengan nada riang.

Sedari bayi sampai menginjak usia 17 tahun, Fikri selalu menghirup udara yang sama dengan Razel. Mungkin itu yang membuatnya paham betul kesulitan yang gadis itu rasakan tiap kali melontarkan berbagai macam keluhan. Bahkan keluhan-keluhan yang kadang terdengar ngawur, Fikri tau kalau sebenarnya itu masalah besar untuk Razel.

Gadis itu tumbuh layaknya putri di istana. Apapun yang dia butuhkan selalu terpenuhi, semua keperluannya diurus oleh maid, menyisir dan menata rambut panjangnya saja bahkan dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu—di luar dari semua keluhannya—Razel yang bisa bertahan sampai sejauh ini, itu sudah sangat luar biasa.

“Apa lo liat-liat? Mau digendong juga?”

Baru berjalan beberapa langkah, Fikri mendadak berhenti saat mendengar Razel mengatakan itu. Menoleh ke belakang, Fikri mendapati Sabrina. Anehnya, gadis itu langsung memalingkan wajahnya begitu tatapan mereka bertemu.

“Lo butuh digendong juga?”

Dengan secepat kilat kepala Sabrina menoleh kembali, tatapan tidak percaya ia layangkan. “Lo nanya kayak gitu ke gue? Yang benar aja. Gue nggak selemah sepupu lo yang satu itu.” Gadis tomboi itu kemudian melangkah lebih dulu melewati Fikri.

Sekilas cara jalan Sabrina memang kelihatan baik-baik saja, namun jika diperhatikan lebih teliti, kaki gadis itu sedikit bergetar di setiap langkahnya. Dan Fikri menyadari itu.

“Turun dulu, Zel.” Fikri melepaskan kaki Razel, mau tidak mau gadis itu terpaksa harus turun. Untungnya di saat seperti ini Razel diam saja tanpa mengajukan protes.

“Sabrina, tunggu!” Teriak Fikri.

Sabrina berbalik. “Hm? Kenapa?”

“Duduk dulu.” Fikri menunjuk batang pohon yang sepertinya sudah lama tumbang.

“Hah?”

“Duduk dulu, gue bilang.” Pada akhirnya Fikri harus menuntun gadis itu untuk duduk. Setelahnya, Fikri bergerak cepat membuka seragamnya, menyisakan kaos putih polos yang melekat di badannya.

“Sebenarnya ada apa, sih?” Sabrina bertanya.

Lalu Razel yang menjawabnya. “Telapak kaki lo berdarah, bodoh.” Ternyata gadis anggun itu juga menyadarinya, mungkin itu yang membuatnya tidak protes saat Fikri menyuruhnya turun.

Fikri sendiri sedang merobek seragamnya menjadi 2 bagian saat Sabrina berucap. “Ini bukan masalah besar buat gue.”

“Kalau infeksi, gimana?” Sindir Razel.

RABIDUS FAMILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang