0.1

170K 9.9K 370
                                    

"Oma lo bukannya udah...?" seorang cewek di hadapan Sandra menggerakkan dua jari telunjuk dan tengahnya sambil menyeruput minuman pesanannya.

Sandra mengangguk dua kali. "Oma Dina maksud gue. Yang dulu sempet tinggal sama Oma gue sebelum Oma gue meninggal," jawabnya. Ia memutar garpu di atas piring demi melilitkan spaghettinya di sana. "Dia tuh bertingkah seolah tau apapun tentang gue, gimana gue bisa betah coba kalo gue tinggal sama dia," ujarnya memutar bola mata.

Ia melirik ke sebelah, ke arah cowok rambut spike yang kini mendengar ocehannya serta tanggapan Gianna dengan seksama, sementara mulutnya sesekali mengunyah dan tangannya sesekali terketuk pada meja kafe. Dia Prama, pacar Sandra.

Siang ini, mereka bertiga berada dalam sebuah kafe yang tak jauh dari keberadaan sekolah. Memilih membolos untuk makan siang di tongkrongan wajib mereka tiap pulang sekolah tersebut setelah kelas Prama selesai tanding basket saat class meeting tadi. dengan obrolan yang cukup berat untuk Sandra umbarkan, mengenai ayahnya yang meminta dirinya untuk pindah ke Bandung.

Sandra tentu saja tidak setuju. Berada jauh dari teman-temannya sekaligus orang yang ia sayang, kembali diharuskan untuk beradaptasi bukanlah seorang Sandra. Sikapnya yang cuek dan masa bodoh bisa membuatnya kembali dicap cewek songong satu sekolah. Apalagi jika ia menjadi anak baru. Dan tentu saja kepindahannya akan berujung pada keadaan dimana dirinya juga ikut pindah sekolah.

Satu yang paling Sandra benci, Oma Dina. Wanita tua yang berstatus adik dari Omanya itu merupakan satu dari sekian orang yang paling ingin Sandra hindari tiap kali cewek itu pulang kampung ke kampung halaman mamanya yang berada di Bandung, sifat pengatur dan segala hal yang harus perfeksionis, rasanya Sandra ingin memberikan bogeman mentah tepat di wajah wanita itu tiap kali ia diceramahi. Wanita paruh baya itu sempat tinggal beberapa saat dengan Oma ketika Oma dikabarkan jatuh sakit, hingga Oma meninggal, sampai akhirnya Oma Dina memilih untuk tinggal di rumah Omanya, selain dengan alasan lebih dekat jika harus bertemu anak-anaknya, juga degan alasan lain yang ia buat kalau dirinya dan Oma dari Sandra sangat-sangat dekat sebagai kakak beradik.

Gianna tertawa. "Ya, seenggaknya dia ngertiin lo, San," guraunya.

Sandra memutar bola mata. "Semua gara-gara gue pulang dari birthday party-nya si Andin, gila, gue udah berkali-kali bilang kalo gue nggak bisa lama-lama, tapi tuh cewek tetep nahan gue sampe telat pulang. Dan nggak taunya bokap ada di rumah," sungutnya kesal. "Dan asal lo tau, handphone gue disita," ucapnya antusias, ia menoleh pada Prama yang juga sedang menatapnya. Melihat itu Sandra meremas jari Prama gemas. "Itu makanya aku nggak bales chat dari kamu," ucapnya pada cowok itu.

Prama mengelus tangannya. "Iya tau, kamu udah bilang kemarin."

Sandra menarik tangannya kembali, dan digunakannya untuk menarik dompetnya sekaligus melayangkan dompet tersebut di udara. "Dan lo tau, gue sekarang jadi pake uang cash. Gue bakal cari cara biar nggak jadi pindah ke Bandung," ucapnya mendesis di akhir, wajahnya berapi-api dengan kekesalan dan hal itu malah membuat Gianna kembali tertawa.

"Lagian siapa suruh dateng ke tempatnya Andin, gue aja males. Daripada yang ada dimainin dia di sana," ujarnya sambil mencomot kentang goreng dan menggigitnya hingga tandas.

Sandra menggeleng. "Nggak, Gi, itu bener-bener penting buat gue. Karena gue harus ngalahin dia," jawabnya gemas jika menyangkut rivalnya satu itu. Andina Prameswari, teman satu sekolahnya yang merangkap jadi musuh semenjak duduk di bangku kelas dua SMA. Cewek yang punya tampang nggak kalah juteknya dari Sandra itu mulai mengibarkan bendera perang semenjak berusaha mendekati Prama, dan beruntungnya Prama masih berada di sisinya. Atau... enaknya Sandra katakan kalau Andin nggak menarik di mata Prama.

Kini giliran Gianna yang memutar bola mata, ia sekali lagi mencomot kentang goreng dan memasukkannya ke dalam mulut. "Terserah apa kata lo deh."

Sandra hanya mendelik sekilas mendapat balasan Gianna, ia menarik udara dalam mulut ketika dirasa lidahnya memanas karena tadi menuangkan lebih banyak saus sambal ke dalam spaghettinya. Ia menarik jus stroberinya dan memberengut ketika melihat isinya tinggal ampas.

Childhood MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang