"I'm sick and I'm tired too
I can admit, I am not fireproof
I feel it burning me," (The Beach – The Neighbourhood)***
"Atau... diem-diem lo suka sama gue?"
***
"Bawa sepeda nggak?"
Sandra mengusap bagian lengannya yang terbuka sambil menganggukkan kepalanya atas pertanyaan cowok di hadapannya itu. "Bawa," jawabnya.
Bintang menaikkan sebelah alisnya dan menatapi Sandra dalam diam hingga membuat cewek itu mengerutkan kening dan melontarkan pertanyaan balasan, "kenapa?"
Cowok itu menggeleng, senyum kecil muncul. "Cuma, mungkin aja kalo lo nggak bawa sepeda, gue bisa antar lo pulang nanti."
"Oh," gumam Sandra sambil tersenyum. "Salah gue kalo gitu, harusnya lo bilang, atau harusnya gue mikirin segala cara untuk dapat kesempatan diantar seorang Bintang."
Bintang terkekeh mendengarnya, mengerling pada Sandra dengan tatapan jenakanya sebelum kembali beraktivitas. "Jadi, mau pesan apa?"
"Punya rekomendasian?" tanya Sandra. "Gue lagi nggak kepikiran makan atau minum apapun."
"Apa itu?"
Sandra menaikkan alis bingung. "Apa itu, apa?"
"Apa yang ada di pikiran lo sampe lo nggak mikirin makan atau minum?"
Seperti Bintang merupakan pemanah professional, pertanyaan tersebut terlontar tepat pada sasaran. Sandra mendesah pendek dengan kekehan yang terdengar ngilu bagi siapa saja yang tahu maksudnya, termasuk cowok yang berada di hadapannya itu. Sandra menggeleng-geleng pelan, ia tak akan punya privasi bagi pikirannya sendiri jika Bintang berlaku seperti ini, cowok itu terlalu mudah membaca dirinya. Dan ia pun terlalu bergantung pada Bintang hanya untuk mencurahkan pikirannya, Sandra tak tahu harus lari kemana lagi untuk meledakkan isi kepalanya. Tak ada Gianna di sini, tak ada Rio, dan tak ada mamanya. Dan satu-satunya orang yang bisa membaca dirinya hanyalah Bintang. Dan bintang kenal satu-satunya masalah yang memutari kepalanya; Ardan.
Dan yang ada di pikirannya kali ini memanglah cowok itu. Cowok yang beberapa jam lalu ia lihat sibuk memanaskan motor sebelum keluar dari rumah dengan pakaian rapi namun masih khas Ardan banget. Sandra tak bisa mengelakkan apa yang ada di pikirannya selain wajah Anjani dan Ardan, kedua orang itu yang akan bergandengan tangan setiap jalan berdua. Ardan dengan motor dan malam minggu tak pernah bisa ia lepaskan dari pikiran kencan dengan Anjani.
Dan kembali lagi ia memikirkan kejadian minggu lalu, insiden hampir yang membuat mereka jadi canggung, dan pengakuan Ardan beberapa malam selanjutnya setelah meninggalkan kejanggalan di antara mereka dengan tak berbicara satu sama lain.
Kita tetep kayak biasanya kan?
Dan Sandra masih ingat betul ketika pertanyaan itu dilontarkan. Tentu saja Ardan kembali seperti biasanya. Kembali pada Anjani, seperti cowok itu biasanya lakukan.
Jadi, Sandra pikirkan untuk mencari pengalihan perhatian ke Moccafé.
"Kok bisa sih?"
Bintang menaikkan alisnya.
"Kok lo bisa banget baca gue sih?"
"Gue nggak bisa baca pikiran," jawab Bintang.
"Gue nggak bilang lo bisa baca pikiran, tapi emang lo bisa baca gue," kata Sandra, "Atau jangan-jangan lo sering merhatiin gue? Lo terobsesi sama gue?" lanjutnya lagi, lalu merubah raut wajahnya menjadi dramatis ketika ia menarik napas dan melotot seakan-akan kaget dengan melontarkan pertanyaan yang dilanjut dengan tawa di detik selanjutnya. "Atau... diem-diem lo suka sama gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Childhood Memories
Teen Fiction[Published by Inari, 2018] Karena kebadungannya, Sandra harus pindah ke Bandung dan tinggal bersama neneknya yang strict abis. Pada hari pertama tinggal di rumah nenenya, tiba-tiba Sandra tersiram air oleh cowok tetangga. Cowok yang bernama Ardan i...